Makalah: Hukum Kewarisan di Indonesia Dalam Perspektif Khi Dan Hukum Islam

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam bersifat universal, salah satunya mengatur berbagai macam aturan muamalah

duniawiyah. Aturan-aturan Allah tersebut mempunyai tujuan tertentu, adapun tujuan itu pada

prinsipnya mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia.

Salah satu hukum yang mengatur tentang hubungan antar sesama manusia adalah hukum

kewarisan. Fiqih mawaris adalah fiqih yang mempelajari tentang siapa-siapa orang yang

termasuk ahli waris, bagian-bagian yang diterima mereka, siapa-siapa yang tidak termasuk ahli

waris, dan bagaimana cara perhitungannya. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur

pemindahan hak kepemilikan peninggalan (tirkah) pewaris, menenentukan siapa-siapa yang

berhak menjadi ahli waris. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang

yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara

pembagiannya. Perspektif Islam, bekerja merupakan realitas fundametal sebagai homo faber.

Hal ini dimaksudkan agar manusia di dalam mencari harta benda melalui jalan yang baik dan

tidak memakan harta benda semua manusia dengan jalan yang baik. Sementara itu Allah SWT

juga menganugerahkan sumber daya alam kepada manusia sebagai penunjang kesejahteraan.

Ada kalanya manusia dalam mencukupi kebutuhan fisiknya terkait harta benda tidak hanya

diperoleh melalui kerja keras semata, melainkan berhubungan dengan peristiwa kematian

seseorang. Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang yang menjadi ahli waris (waarits) akan

mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, menyelesaikan hutanghutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang

dan menyelesaikan wasiat pewaris.Bagaimana harta peninggalannya harus diberlakuan kepada

siapa saja harta itu dipindahkan, dan bagaimana caranya. Inilah yang kemudian disebut dengan

warisan dan diatur dalam hukum waris. Hukum kewarisan menduduki peranan yang penting di

dalam hukum Islam, ayat al-Qur’an mengatur hukum kewarisan dengan jelas dan terperinci,

setiap orang pasti akan mengalaminya. Oleh sebab itu, kewarisan juga merupakan salah satu

pokok yang sering dibicarakan dan sering kali hukum kewarisan ini dapat menimbulkan sengketa

antara ahli waris. Dalam hukum kewarisan Islam pelaksanaan pembagian harta warisan

dilaksanakan setelah pewaris meninggal dunia. Di samping itu bagian anak laki-laki adalah

sebanyak bagian dua dari anak perempuan. Sistem kewarisan menurut Islam pada dasarnya

menganut asas kekerabatan. Oleh karena itu ahli waris yang berhak ialah karena hubungan

keluarga (nasab), karena hubungan perkawinan yang sah (mushaharah), karena hubungan wala

dan karena hubungan agama. Tetapi tidak seluruh ahli waris yang ada pasti menerima harta

warisan, sebab para ahli waris ada yang lebih dekat dengan si mayit dan ada yang lebih jauh,

menurut urutannya masing-masing. Secara umum, ahli waris dapat dikelompokkan kepada dua

kelompok, yaitu: ahli waris sababiyya dan ahli waris nasabiyah.

1. Ahli waris sababiyah ialah orang yang berhak mendapat bagian harta warisan, karena adanya

sebab, yaitu adanya akad perkawinan sehingga antara suami dan isteri mempunyai hubungan

saling mewarisi. 

2. Ahli waris nasabiyah ialah orang yang berhak memperoleh harta warisan karena ada

hubungan nasab (hubungan darah/keturunan). Ahli waris nasabiyah ini dapat dibedakan

menjadi

3. jenis, yaitu : furu` al-mayyit, usul al-mayyit, dan al-hawasyi.

Bagi umat Islam melaksanakan ketentuan yang berkenaan dengan hukum kewarisan merupakan

suatu kewajiban yang harus dijalani, karena itu merupakan bentuk manifestasi keimanan dan

ketakwaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Akan tetapi dalam sejarah perjalanan penerapan

hukum Islam, di mana hukum Islam itu berada telah melahirkan beberapa titik singgung dengan

masyarakat setempat, termasuk Indonesia.

Hal itu disebabkan oleh masyarakat Indonesia yang plural. Pluralitas kelompok tersebut telah

melahirkan kerangka hukumnya tersendiri yang akhirnya menegaskan peranan hukum tersebut.

Ketika hukum Islam hendak menanamkan nilainya untuk mengatur tata tertib masyarakat,

ketika itulah mereka berhadapan dengan hukum itu.

Di Indonesia hukum yang mengatur dan dibentuk oleh budaya dan adat disebut hukum adat.

Hukum adat mengatur hampir setiap sendi masyarakat yang menganutnya termasuk di

dalamnya masalah warisan. Hukum ini kemudian disebut dengan hukum kewarisan adat.

Hukum kewarisan adat adalah hukum adat yang mengatur dan memuat garis ketentuan tentang

sistem dan asas-asas hukum kewarisan, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara

bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan kepemelikannya dari pewaris. Hukum

kewarisan adat bisa juga dikatakan adalah hukum penerusan harta kekayaan dari satu generasi

kepada keturunannya.

Hukum kewarisan adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang

berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, yang mungkin saja bersifat patrilineal ataupun

bilateral. Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris

maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan ke ahli waris.

Sedangkan, dua penyebab terlahir menghalangi warismewarisi dari dua arah. Al-qaduri dalam

al-kitaab mengatakan ada empat orang yang tidak bisa mewarisi, yakni budak belian, orang yang

membunuh terdapat yang di bunuh, orang murtad, orang yang beda agama. Demikian juga

orang yang beda negara (Darul Islam –Darul Hard). Saya akan menjelaskan

penghalangpenghalang ini masing-masing.

a. Pembunuhan sengaja

b. Pembunuhan mirip dengan sengaja

c. Pembunuhan yang dianggap khilaf 

d. Pembunuhan khilaf

e. Pembunuhan tidak langsung

f. Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam untuk selanjutya disebut (KHI) tentang penghalang

waris. Pasal 173 (huruf a). Namun nampaknya KHI tidak memberikan suatu pengertian yang

konkret tentang apa yang dimaksud dengan penganiayaan berat. Sehingga ketentuan itu

merupakan bentuk pemikiran baru. Maka beberapa hal yang penting dan perlu memperoleh

tekanan dalam pengkajian KHI agar diperoleh kejelasan adalah mengemukakan dasar hukum

atau dalil nash/ ijitihad yang mendukung ketentuan Kompilasi.

Untuk itu penulis tertarik untuk membahasnya lebih lanjut bagaimana mengenai persoalan

tersebut. Sehingga penulis mencobah menginformasikan dalam bentuk skripsi yang berjudul

Analisis Hukum Islam Terhadap Penganiayaan Berat Sebagai Penghalang Mewarisi ( Analisis

Pasal 173 KHI)

B. Rumusan masalah

Dalam makalah ini ada beberapa permasalahan yang perlu mendapatkan

perhatian, yaitu :

1. Tentang bagian waris ayah bersama ibu bila ada suami atau istri. Bagian ayah

sebagai ashabah lebih kecil atau tidak seimbang dengan bagian ibu, padahal ayah sebagai lakilaki ketentuannya adalah 2 (dua) kali daripada bagian ibu yang perempuan. Dari masalah ini

tersusunlah rumusan pasal 178 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2. Tentang saudara/saudari kandung (seibu-seayah) tidak mendapat bagian sedikitpun bila

bersama dengan saudara/saudari seibu, karena harta peninggalan sudah habis oleh ahli waris

Ashabul Furudl. Apakah saudara/saudari kandung gugur hak warisnya karena telah dihabiskan

oleh Ashabul Furudl yang diantaranya adalah saudara/saudari seibu?

Atau apakah saudara/saudari seibu lebih utama daripada saudara/saudari kandung,sehingga

dapat menggugurkan hak waris?

Apakah Pasal 181 dan 182 KHI sudah menjawab?

3. Tentang nasib binti al-binti atau ibnu al binti tidak dapat bagian waris karena termasuk ahli

waris dzawil arham, padahal sama pertaliannya dengan binti al ibn atau ibn al ibn sebagai cucu,

bedanya hanya karena bint al bint atau ibn al bint lahir dari garis anak perempuan sedang bint al

ibn atau ibn al ibn lahir dari garis anak laki-laki. Mengapa nasib bint al bint atau ibn al bint

begitu sial (buruk) sehingga tidak mendapat bagian hanya karena yang menjadi penghubung

(wasithah) dengan pewaris adalah ibu (perempuan). Apakah karena ibu perempuan lalu

mewariskan nasib buruk kapada putra-putrinya?

Padahal sepeninggal orang tuanya pada lazimnya cucu lebih dekat dengan kakek/neneknya dan

seharusnya lebih diperhatikan nasibnya yang yatim atau yatimah bukan malah tersingkir.

Bagaimana apakah Pasal 185 KHI sudah menjawabnya?

C. Tujuan penulis

Sesuai dengan permasalahan, penulis bertujuan untuk menjawab rumusan masalah : 1. Untuk

Mengetauhi bagaimana penyabab penghalang mewarisi dalam Pasal huruf a KHI

2. Untuk Mengetahui bagaimana analisis hukum Islam terhadap penganiayaan berat sebagai

penghalang mewarisi (analisis Pasal 173 huruf a KHI)

D. Tinjuan Pustaka

 Setelah menibang dan memperhatikan tulisan-tulisan ilmiah atau penelitian yang secara umum

membahas tentang warisan sudah banyak diteliti dalam sebuah penelitian buku. Disini penulis

akan membahas tentang permasalahan penghalang mewarisi yang terdapat dalam KHI pasal

173 huruf a yang lebih spesifik . beberapa referinsi yang penulis gunakan sebagai rujukan dalah

sebagai berikut: Ani Sofiati skripsinya yang berjudul “ Analisis hukum Islam terhadap fitnah

sebagai penghalang mewarisi” yang menitik beratkan penelitian sebagaimana fitnah dapat

menjadikan penghalang mewarisi didalam KHI di Indonesia.

A. Pengertian Kewarisan Menurut Kompilasi Hukum Islam

 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah suatu dokumentasi yustisia yang merupakan

himpunan materi hukum Islam, terdiri atas tiga buku. Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II

Hukum Kewarisan, dan Buku III Hukum Perwakafan. KHI adalah hukum materiil yang dijadikan

pedoman bagi hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama, sebagai hukum terapan dalam

menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya. KHI diberlakukan dengan Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991.

Konsep Kompilasi Hukum Islam hasil Tim tersebut kemudian dibahas oleh para ulama dan

cendekiawan muslim dalam Loka Karya yang diadakan pada tanggal 2 s.d. 5 februari 1998 di

Jakarta. Hasil Loka Karya tersebut kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden

untuk memperoleh bentuk yuridis dalam pelaksanaannya. Kemudian pada tanggal 10 Juni 1991

keluarlah Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, yang memuat intruksi kepada Menteri Agama

untuk menyebarkan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana telah diterima baik oleh para alim

ulama Indonesia pada Loka Karya tahun 1998.

Sejak dikeluarkannya Intruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama di atas, berarti Kompilasi
Hukum Islam telah memperoleh kekuatan dan bentuk yuridis untuk digunakan dalam praktik di
Pengadilan Agama atau oleh instansi pemerintah lainnya dan masyarakat yang memerlukannya
dalam menyelesaikan masalahmasalah di bidang yang telah diatur oleh Kompilasi tersebut.
Bidang hukum yang diatur oleh Kompilasi itu adalah bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan
Perwakafan, yang rinciannya sebagai berikut:
Buku I tentang Hukum Perkawinan
 Pasal 1 s/d pasal 170
Buku II tentang Hukum Kewarisan
Pasal 171 s/d 214
Buku III tentang Hukum Perwakafan
 Pasal 215 s/d 229
Hukum materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumentasi yustisia atau
buku Kompilasi Hukum Islam, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi hakim di lingkungan
Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang
diajukan kepadanya.
Oleh karena KHI mengacu kepada dua “tatanan hukum” yang berbeda, ia memikul beban untuk
mengintegrasikan keduanya. Secara umum (prinsip dan sistematik) KHI konsisten dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, secara teknis tidak terhindar
adanya inkonsistensi sebagaimaa terlihat dalam istilah (bahkan konsep) yang digunakan. Gejala
seperti itu tidak hanya ditemukan dalam KHI, tetapi juga ditemukan dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Hukum waris adalah ketentuan yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan (hak dan
kewajiban) dari seseorang yang meninggal dunia kepada seorang atau lebih.
Pengertian lain, Hukum Waris adalah semua peraturan hukum yang mengatur kekayaan
seseorang yang meninggal dunia, yaitu mengenai pemindahan kekayaaan tersebut, akibatnya
bagi yang memperoleh, baik dalam hubungan antara mereka maupun dengan pihak ketiga.
Hukum kewarisan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada dasarnya
merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur Fuqaha (termasuk Syafi iyah ‟
di dalamnya). Namun, dalam beberapa hal terdapat pengecualian. Beberapa ketentuan hukum
kewarisan yang merupakan pengecualian tersebut, antara lain adalah:
1. Mengenai Anak atau Orang Tua Angkat
Dalam ketentuan hukum waris, menurut jumhur Fuqaha, yang telah dikemukakan dalam
pembahasan di muka, anak angkat tidak saling mewaris dengan orang tua angkatnya
Pasal 171 (h):
Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
2. Mengenai Bagian Bapak
Bagian bapak, menurut Jumhur, adalah 1/6 bagian apabila pewaris meninggalkan far u al-waris ‟
(anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar lakilaki; 1/6 bagian ditambah sisa apabila pewaris meninggalkan far u al-waris, tetapi tidak ada far ‟ ‟
u al-waris laki-laki (anak laki-laki atau cucu lakilaki pancar laki-laki); dan menerima „ashabah
(sisa) apabila pewaris tidak meninggalkan far u al- ‟ waris.
3. Mengenai Dzawi al-Arham
 Pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tidak menjelaskan tentang keberadaan
dan bagian penerimaan ahli waris dzawi al-arham.
4. Mengenai Radd
Masalah radd yang biasa juga disebut masalah al-naqishah adalah suatu masalah/kasus
penyelesaian pewarisan yang jumlah sahamnya lebih kecil daripada asal masalahnya; dan
dengan sendirinya akan terjadi penambahan kadar (bagian) para ahli waris.
5. Mengenai Pengertian “Walad” Fuqaha telah sependapat bahwa saudara-saudara sekandung,
baik laki-laki maupun perempuan, tidak memperoleh bagian apabila berkumpul (mewaris)
bersama anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki, atau bersama ayah.
B. Rukun dan Syarat Waris
 Menurut bahasa, sesuatu dianggap rukun apabila posisinya kuat dan dijadikan sandaran
Menurut istilah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan
sesuatu yang lain. Dalam kata lain, rukun adalah sesuatu yang keberadaannya mampu
menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu itu hanya bagian dari sesuatu yang lain
maupun yang mengkhususkan sesuatu itu.
Dengan demikian, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta
waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya.
1. Rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga, yaitu:
a. Ahli waris, yaitu orangyang dihubungkan kepada si mati dengan salah satu sebab-sebab
pewarisan;
b. Pewaris, yaitu si mati, baik mati haqiqi maupun hukum, seperti yang telah hilang, yang oleh
hakim dinyatakan telah meninggal dunia;
c. Warisan, dinamakan juga dengan tirkah atau mirats, yaitu harta atau hak yang berpindah dari
si pewaris kepada ahli waris.
Ketiga rukun di atas berkaitan antara satu dengan lainnya. Ketiganya harus ada dalam setiap
pewarisan. Dengan kata lain, pewarisan tidak mungkin terjadi manakala salah satu di antara
ketiga unsur di atas tidak ada. Lafal syuruth „syarat-syarat adalah bentuk jamak dari syarth ‟
„syarat . Menurut bahasa, syarat berarti tanda. Lafaz ‟ h syarth juga diartikan „pasukan yang
menjaga keamanan dengan tanda karena mereka mempuny ‟ ai tanda yang mereka ketahui.
Sedangkan, syarat menurut istilah adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak akan ada
hukum.
Dengan demikian, apabila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta
waris. Meskipun syarat-syarat waris terpenuhi, tidak serta-merta harta waris dapat langsung
dibagikan. Oleh karena itu, persoalan warisan memerlukan syarat-syarat sebagai berikut:
2. Syarat-syarat waris ada tiga, yaitu:
a. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum, seperti keputusan hakim
atas kematian orang yang mafqud (hilang)
b. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukum seperti anak dalam
kandungan
c. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalangpenghalang pewarisan.
Adanya syarat pertama di atas, maka segala serta harta dan hak seorang tidak boleh dibagikan,
kecuali orang-orang tersebut benarbenar telah meninggal dunia atau hakim memutuskan
kematiannya, seperti orang yang menghilang misalnya. Apabila hakim telah memutuskan
kematian orang tersebut, dengan bukti-bukti yang kuat, maka saat itu barulah harta
peninggalannya dapat dibagikan di antara ahli warisnya.
Syarat kedua, maka kelayakan seseorang sebagai ahli waris dapat terjamin, sebab ahli warislah
yang akan menerima perpindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia, dan hal itu
tidak mungkin terjadi manakala ahli waris tersebut telah meninggal terlebih dahulu dan atau
meninggal bersama-sama dengan pewarisnya.
Syarat ketiga, diharapkan para ahli waris berupaya untuk tidak melakukan hal-hal yang sekiranya
dapat menolaknya untuk menerima harta peninggalan si pewaris.
Mengenai syarat ketiga (tidak adanya penghalang pewarisan) di atas, di antara ahli faraidh, ada
yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak termasuk ke dalam syarat pewarisan.
0 0
C. Jenis-Jenis Ahli Waris
 Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris. Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu
Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau
anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya
Secara Umum, ahli waris dapat dikelompokkan kepada dua kelompok, yaitu:
1. Ahli waris sababiyah ialah orang yang berhak memperoleh bagian harta warisan, karena
adanya sebab, yaitu adanya akad perkawinan, sehingga antara suami dan istri mempunyai
hubungan saling mewarisi.
2. Ahli waris nasabiyah ialah orang yang berhak memperoleh harta warisan karena ada
hubungan nasab (hubungan darah/ keturunan). Ahli waris nasabiyah ini dapat dibedakan
kepada tiga jenis, yaitu: furu al mayyit, usul al-may ‟ yit, dan al-hawasyi.
 a. Furu al-Mayyit ‟
Furu al-Mayyit yaitu hubungan nasab menurut garis l ‟ urus keturunan ke bawah. Yang termasuk
ke dalam jenis furu al-mayyit ini ialah: ‟
1) Anak laki-laki;
2) Anak perempuan;
3) Anak dari anak anak laki-laki (cucu laki-laki atau cucu perempuan_ dan seterusnya ke bawah
keturunan lakilaki.
 b. Usul al-Mayyit
Usul al-Mayyit ialah ahli waris yang merupakan asal keturunan dari orang yang mewariskan,
atau hubungan nasab garis keturunan ke atas mereka ini ialah:
 1) Ayah;
2) Ibu;
3) Ayah dari ayah (kakek) dan seterusnya ke atas;
4) Ibu dari ayah atau ibu dari ibu (nenek dari pihak ayah atau nenek dari pihak ibu).
 c. Al-Hawasyi
 Yang dimaksud dengan al-hawasyi ialah, hubungan nasab dari arah menyamping, dan mereka
terdiri dari:
 1) Saudara laki-laki sekandung;
0 0
 2) Saudara perempuan sekandung;
3) Saudara laki-laki seayah;
4) Saudara perempuan seayah;
5) Saudara laki-laki seibu;
6) Saudara perempuan seibu;
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah dari keturunan lakilaki;
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, dan seterusnya ke bawah dari keturunan laki-laki;
9) Saudara laki-laki sekandung dari ayah (paman sekandung) dan seterusnya ke atas;
10) Saudara laki-laki seayah dari ayah (paman sekandung) dan seterusnya ke atas;
11) Anak laki-laki dari paman sekandung dan seterusnya ke bawah;
12) Anak laki-laki dari paman seayah dan seterusnya ke bawah.
tentang Ahli Waris Pasal 174 KHI.
1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
1. Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek;
2. Golongan perempuan terdiri dari: Ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek;
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisam hanya: anak, ayah, ibu,
janda atau duda. Pada Pasal 175 KHI.
1) Kewajiban Ahli waris terhadap pewaris adalah:
a) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b) Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban
pewaris maupun menagih piutang;
c) Menyelesaikan waris pewaris;
d) Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada
jumlah atau nilai harta peninggalannya.
0 0
1. Pengertian Ahli Waris Pengganti
 Istilah ahli waris pengganti dalam bahasa Belanda disebut dengan plaatsvervulling. Sehingga
apabila ia meninggal lebih dahulu ia dapat digantikan oleh anak-anaknya sendiri. Penggantian
tempat dalam hukum waris disebut dengan penggantian ahli waris, yaitu meninggal dunianya
seseorang dengan meninggalkan cucu yang orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu. Cucu
ini menggantikan posisi orang tuanya yang telah meninggal untuk mendapatkan warisan dari
kakek atau neneknya.
Dalam tulisan ini dibedakan antara pengganti ahli waris dengan ahli waris pengganti. Pengganti
ahli waris berarti sejak semula bukan ahli waris, tetapi karena keadaan tertentu mungkin
menerima warisan. Namun, tetap dalam status bukan ahli waris. Karena keadaan tertentu
menjadi ahli waris, menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Pengganti ahli waris itu,
misalnya apa yang dikenal dalam istilah Burgelijk Wetboek (BW) dengan bij plaatsvervulling
(dalam bahasa Belanda) atau dalam istilah fiqh mawarits dikenal wasiat wajibah, seperti peawris
meninggalkan anak dan juga cucu, baik daripada pewaris. Cucu disini sebagai ahli waris,
sedangkan ahli waris pengganti misalnya pewaris tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan
cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
Dalam KHI Pasal 185 ayat (1) ahli waris pengganti hanya sebatas cucu, tetapi di dalam praktiknya
sebagian besar hakim pada Pengadilan Agama tidak membatasi, atau dengan kata lain
mengikuti aturan hukum perdata B.W. tersebut. Dengan demikian, peneliti merumuskan bahwa
sebagian hakim pada Pengadilan Agama cenderung memutuskan hukum pengalihan hak waris
kepada ahli waris pengganti bukan hanya mengacu kepada konsep “wasiat wajibah” dalam fikih
mawaris, tetapi juga mengikuti ketentuan pengalihan warisan dalam hukum waris menurut
Hukum Perdata B.W. Ahli waris tidak harus dalam keadaan hidup saat pewaris meninggal dunia,
yaitu dengan mengatur ketentuan tentang ahli waris pengganti, yang menyebutkan bahwa ahli
waris yang meninggal dunia sebelum pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anakanaknya, dengan bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti (Vide Pasal 185 KHI). Pasal 185 ayat (1) secara tersurat mengakui
ahli waris pengganti, yang merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Baru karena di
Timur Tengah-pun belum ada negara yang melakukan seperti ini, sehingga mereka perlu
menampungnya dalam lembaga wasiat wajibah. Adapun pada ayat (2) menghilangkan
kejanggalan penerima adanya ahli waris pengganti dengan tetap menganut asas perimbangan
laki-laki sama dengan anak perempuan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi
berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua
angkat yang tidak menerima wasiat. Adapun ayat (2) terhadap anak angkat yang tidak
menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya.
0 0
Kompilasi Hukum Islam telah mengakomodasi konsep penggantian kedudukan (plaatsvervulling)
sebagai alternative pemberian bagian kepada cucu laki-laki atau perempuan garis perempuan,
baik yang terhalang karena orang tuanya meninggal dunia terlebih dahulu darri ahli waris lain
atau karena memang sebagai dzawil al-arham.
2. Kelompok Ahli Waris Pengganti
 Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok ahli waris pengganti, adalah mereka yang
bukan (tidak termasuk) ashhabul furudh dan bukan (tidak termasuk) golongan ashabah.
Sehingga terdapat dua kelompok yang tidak menerima harta peninggalan pewaris yaitu
kelompok dzawil arham dan kelompok ahli waris yang terkena mahjub.
D. Penghalang Kewarisan (Mawani’ al-Irs)
Yang dimaksud dengan Mawani al-Irs ialah penghalang terlaksananya waris mewarisi. Dalam
istilah ulama Faraid ialah suatu keadaan/ sifat yang menyebabkan orang tersebut tidak dapat
menerima warisan padahal sudah cukup syarat-syarat dan ada hubungan pewarisan. Pada
awalnya seseorang sudah berhak mendapat warisan, tetapi oleh karena ada suatu keadaan
tertentu, berakibat dia tidak mendapat harta warisan. Keadaan-keadaan yang menyebabkan
seorang ahli waris tidak dapat memperoleh harta warisan adalah sebagai berikut:
1. Perbudakan
 Yang dimaksud adalah status orang sebagai hamba sahaya. Sebab hamba sahaya itu adalah
milik tuannya. Diri dan harta hasil jerih payah hamba sahaya itu adalah milik tuannya. Karena itu
jika seseorang hamba sahaya meninggal maka dia tidak meninggalkan harta sebab apapun hasil
jerih payahnya adalah milik tuannya. Status hamba sahaya itu juga menghalanginya untuk
mendapatkan harta waris dari kerabatnya. Sebab seandainya ia diberi bagian dari harta waris
dari kerabatnya yang meninggal, maka harta itu menjadi miik tuannya sementara tuannya itu
adalah orang asing terhadap kerabat hamba sahaya itu.
2. Pembunuhan
 Pembunuhan yang mencegah pewarisan adalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris
kepada al-muwarrits yang mengharuskan dijatuhinya qishash, diyat atau kaffarah.
3. Berlainan Agama
 Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara orang
yang mewarisi dengan orang yang mewariskan.Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) sepakat
bahwa orang nonislam (kafir) tidak dapat mewarisi harta orang Islam lantaran status orang
nonislam (kafir) lebih rendah.
4. Berlainan Negara
0 0
Ciri-ciri suatu negara adalah memiliki kepala negara sendiri, memilki angkatan bersenjata, dan
memiliki kedaulatan sendiri. Maka yang dimaksud berlainan negara adalah yang berlainan ketiga
unsur tersebut.
Berlainan negara antara sesama muslim, telah disepakati fuqaha bahwa hal ini tidak menjadi
penghalang untuk saling mewarisi, sebab semua negara Islam mempunyai kesatuan hukum,
meskipun berlainan politik dan sistem pemerintahnya.
Yang diperselisihkan adalah berlainan negara antara orangorang yang nonmuslim. Dalam hal ini
menurut jumhur ulama tidak menjadi penghalang mewarisi dengan alasan hadis yang melarang
warisan antara dua orang yang berlainan agama. Mafhum mukhalaf-nya bahwa ahli waris dan
pewaris yang sama agamanya dapat saling mewarisi meskipun berbeda negaranya.Adapun
menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian Hanabilah bahwa hal itu menjadi penghalang hak
mewarisi, karena berlainan negara antara orang-orang yang nonmuslim berarti terputusnya
ishmah (kekuasaan) dan tidak adanya hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan. Adapun
negara dalam hakikatnya saja (muslim sama muslim) tidak berpengaruh dalam segi hukum.
E. Pluralisme Hukum Waris di Indonesia
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia, termasuk di dalamnya masalah pewarisan, sampai
sekarang masih beraneka ragam dan masih belum mempunyai kesatuan hukum yang dapat
diterapkan untuk seluruh
warga negara Indonesia. Keanekaragaman hukum waris tersebut dapat dilihat dati adanya
pembagian hukum waris kepada:
1. Hukum waris yang terdapat dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHP /BW'), Buku 1 Bah XII s.d. XVIII dari
pasal 830 s.d. pasal 1130
2. Hukum waris yang terdapat dalam hukum adat yaitu dalam
bagian hukum waris adat
3. Hukum waris yang terdapat dalam hukum waris Islam, yaitu
ketentuan hukum waris dalam fiqh Islam, yang disebut Mawarits atau ilmu Faraidh
Hukum waris BW berlaku bagi orang-orang Tionghoa dan Eropa, Hukum Waris Adat berlaku bagi
orang-orang Indonesia asli, sedangkan hukum waris Islam berlaku bagi orang-orang Indonesia
asli yang beragama Islam dan orang-orang Arab (yang beragama Islam).
Antara hukum waris adat di suatu daerah lingkungan hukum adat dan daerah (rechtkring)
hukum adat yang lain terdapat perbedaan karena adanya perbedaan sifat kekeluargaan mereka
masing-masing. Daerah lingkungan hukum adat yang susunan kekeluargaannya
perkawinan dan soal warisan bagi orang Islam harus eliputus menurut hukum Islam. Lahirnya
Stbl. 1882 Nomor 152 elipengaruhi oleh pemikiran Prof. Lodewijk Willem Cristian Van den Berg
(1845-1927),
salah seorang penulis Belanda, yang terkenal dengan teorinya Receptio in Complexu.
0 0
Menurutteori Receptio in Complexu, hukum yang berlaku bagi orang-orang Indonesia (Hindia
Belanda waktu itu) mengikuti hukum agamanya. Jadi menurut teori ini, adat istiadat dan hukum
sesuatu golongan (hukum) masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang elianut oleh
golongan masyarakat itu. Snouck Hurgronje (1857-1936)-dengan teori Resepsinya-menentang
ajaran Receptio in Complexu.
Menurutnya, bahwa dalam hukum adat ini memang sudah masuk pengaruh hukum Islam.
Pengaruh hukum Islam itu mempunyai kekuatan kalau elikehendaki dan eliterima oleh hukum
adat, dan demikian lahirlah dia keluar sebagai hukum adat, bukan
sebagai hukum Islam.
Begitu kuatnya pengaruh resepsi ini bagi bangsa Indonesia. Hal tersebut tampak dari usahausaha yang eliakukan oleh para pendukungnya, antara lain Ter Haar yang mengusulkan
menghapuskan kekuasaan Pengadilan Agama atas perkara warisan.dua teori (Teori Receptio in
Complexu dan TeoriRueptie) tersebut berpengaruh pada politik pemerintahan Belanda yang
berkaitan dengan kompetensi (wewenang) Pengadilan Agama. Pertentangan antara dua paham
tersebut berkelanjutan sampai kepada soal pengaturan Pengadilan Agama yang ketika itu telah
menerima teori Van den Berg (Receptio in Complexu)
F. Musyarakah
Musyarakah atau musytarakah artinya yang disekutukan (digabungkan), dan disebut juga
musyarikah yang menyekutukan (menggabungkan); sebab saudara seibu sebapak (kandung)
bersekutu atau menggabungkan diri dengan saudara seibu. (A. Hasan, 1979, 60)
Musyarakah menurut A. Sukris Sarmadi (A. Sukris Sarmadi, 1997, 210) adalah metode
penyelesaian kasus ketika saudara laki-laki kandung sebagai ashabah tidak memperoleh sisa
harta karena habis dibagi oleh ahli waris lain.
Padahal diantara ahli waris tersebut ada saudara-saudara seibu yang mendapat bagian sesuai
ketentuan yang berlaku, seperti berkumpulnya ahli waris yang terdiri dari suami, ibu, dua orang
saudara laki-laki seibu dan seorang saudara laki-laki kandung.
Di Indonesia hukum waris menurut KUH Perdata ( BW ) tidak mengenal konsep gharrawain
maupun musyarakah, sebab suami masuk dalam kelompok keutamaan pertama sedang ibu dan
sudara masuk dalam kelompok keutamaan kedua. Kelompok keutamaan pertama akan
menyisihkan kelompok keutamaan kedua, kelompok keutamaan kedua akan menyisihkan
kelompok ketiga dan seterusnya. Kelompok-kelompok tersebut saling menghijab. Sebab itu
dalam kasus tersebut seluruh harta untuk suami dan yang lainnya mahjub (tertutup) oleh
kelompok keutamaan I. (Effendi Perangin, 1997, 31).
Konsep musyarakah menurut sistem Sunni juga ditolak keras oleh Prof. Dr.Hazairin, SH.
Menurutnya, para saudara dari segala jurusan telah jelas dan tidak ada penyimpangan
perhitungan dan tidak perlu dengan cara musyarakah. (A.Surkis Sarmadi, 1997, 213)
Para saudara hanya akan mewarisi jika tidak ada anak dan mereka hanya dihijab secara nuqson
oleh ibu atau bapak. Berkumpulnya saudara dalam jurusan manapun berjumlah 2 orang atau
lebih akan memperoleh 2/3 bagian, tapi bila ada ayah bagian berkurang menjadi 1/3 berbagi
antara mereka.
0 0
Rumusan pasal 181 KHI intinya sama atau sebagai penegasan ayat 12 surat An Nisa dan
Rumusan pasal 182 intinya juga sama atau penegasan kembali ayat 176 surat An Nisa.
Jelasnya, rumusan pasal tersebut adalah sebagai berikut. Pasal 181 KHI :Bila seorang meninggal
tanpa meninggalkan anak dan ayah maka saudara laki-laki dan saudara perempuaan seibu
masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
Ayat 12 Surah An-Nisa, artinya sebagai berikut :
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan (tidak meninggalkan anak dan tidak
bapak), tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudari perempuan (seibu),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika Saudarasaudara itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”(Q.S. IV, 12)
G. Ahli Waris Pengganti
1. Lembaga Ahli Waris Pengganti Sebagai Opsi
Menurut Fiqh Sunny, anak laki-laki (ibn) dapat menghijab hirman cucu, baik cucu laki-laki
maupun perempuan, baik cucu dari anak laki-laki maupun cucu dari anak perempuan. Demikian
juga anak laki-laki dapat menghijab hirman saudara, baik kandung, seayah atau seibu dan juga
menghijab ashabah selain bapak dan kakek. (Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah, 1986, 228).
Tidak hanya anak laki-laki (ibn) yang menghijab cucu, tapi cucu laki-laki dari anak laki-laki (ibn al
ibn, menurut paham di atas) juga dapat menghijab cucu perempuan dari anak perempuan (bint
al bint) dan cucu laki-laki dari anak perempuan (ibn al bint). (A. Hasan, 1929 : 15)
Diantara argumentasi pendapat ini ialah hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas
ra. bahwa Nabi saw bersabda : ”Berikanlah bagian harta peninggalan kepada yang berhak,
kemudian sisanya untuk laki-laki yang paling dekat (hubungannya dengan pewaris)”. (AlAsqolani, XV, 1959 : II). Dasar yang kedua ialah kakidah yang artinya : ”Setiap orang yang
dipertalikan nasabnya dengan si mati melalui perantara seseorang (wasithah) maka ia tidak
dapat mewarisi bersama dengan orang yang mempersatukan, selama orang yang dipertalikan
masih ada”. (Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah, 1986 : 230 dan Fatchur Rahman, tt : 443).
Tersingkirnya bint al bint atau Ibn al bint dari ibn al ibn dirasakan kurang adil, tidak manusiawi
dan atau diskriminatif, karena membedakan kedudukan penghubung (wasithah) laki-laki dan
perempuan yang berakibat penderitaan dan kesengsaraan anak turun ibu yang perempuan yang
kebetulan orang tuanya mati lebih dulu dari pada kakek / neneknya. Padahal sepeninggal orang
tuanya pada lazimnya cucu lebih dekat dengan kakek / neneknya dan seharusnya lebih
diperhatikan nasibnya yang yatim atau yatimah bukan malah tersingkir. Dalam hal ini terdapat
dua cara pemecahan yang semuanya bertujuan mengangkat nasib mereka ke arah yang lebih
baik. Dua solusi pemecahan tersebut ialah dengan cara menerapkan wasiat wajibah dan dengan
cara penggantian tempat / kedudukan. Diantara negara-negara yang memilih opsi wasiat
wajibah ialah Mesir, Suriah, Maroko dan Tunisia. Mesir menetapkan wasiat wajibah dalam
0 0
Undang-undang Nomor 71 Tahun 1946 Pasal 76, Suriah pada tahun 1953, Maroko pada tahun
1957 dan Tunisia pada tahun 1956. (Raihan A.Rasyid, 1959 : 54-56).
Menurut ahli tafsir, oleh karena al walidain (bapak ibu) tergolong ahli waris yang telah ada
ketentuan bagiannya, maka tidak boleh diwasiati lagi, karena ada hadits yang artinya tidak sah
berwasiat kepada ahli waris. Ini berarti wasiat masih ada untuk al aqrabin (kaum kerabat) yang
tidak tergolong ahli waris yang ditentukan bagiannya seperti cucu.
Solusi kedua dengan cara menggantikan tempat/kedudukan.Negara yang memilih opsi
penggantian tempat ialah Pakistan. Pakistan menyikapi masalah cucu diatas dengan cara
memberi porsi kepada cucu untuk menggantikan tempat atau kedudukan orang tuanya yang
meninggal lebih dulu dari pada pewaris yang bagian mereka seperti bagian untuk ayah atau
ibunya seandainya ia masih hidup. Demikian ditetapkan dalam undang-undang personel muslim
tahun 1962 pada Pasal 5. (A. Rasyid, 1959:60).
2. Argumentasi Ahli Waris Pengganti Sebagai Solusi
Sejauh ini belum didapatkan dasar dan argumentasi ulama dan pakar hukum di Indonesia
memilih opsi penggantian kedudukan dalam mengatasi masalah cucu bila bersama anak alakiaki. Menurut penulis, hal ini kemungkinan karenan penggantian kedudukan/tempat dianggap
paling sesuai dengan hukum yang berkembang di masyarakat Indonesia,
yaitu :
a. Hukum waris adat Indonesia telah mengenal dan memperlakukan sistem penggantian
tempat.
b. Pemikiran Prof. Dr. Hazairin, S.H. tentang kewarisan bilateral dengan konsep mawali telah
memasyarakat, tidak hanya terbatas di kampus
melainkan sudah diterima oleh sebagian besar cendekiawan muslim.
c. Dalam hukum waris sunni sendiri bila dicermati sebenarnya juga terdapat ajaran yang identik
dengan penggantian tempat/kedudukan. Untuk sub a dan b di atas kiranya tidak perlu diuraikan
karena sudah maklum, disamping tidak mungkin dibicarakan karena tempatnya yang terbatas.
Oleh karena itu untuk sub c perlu uraian, karena ahlinya menolak sistem penggantian tetapi
kenyataannya dalam ilmu kewarisan bila dicermati dan digali ternyata ada ajaran yang
menjelaskan adanya penggantian tempat.
3. Rumusan Penggantian Tempat Menurut Waris Sunni Konsep penggantian tempat dalam waris
sunni dirumuskan sebagai
berikut :
a. Ahli waris yang menggantikan tempat/kedudukan ahli waris yang telah meninggal lebih dulu
dari pewaris tidak menempati kedudukan penuh seperti kedudukan ahli waris yang digantikan.

b. Penerimaan penggantian tidak boleh merugikan penerimaan ahli waris yang sederajat
dengan ahli waris yang digantikan.
c. Kerabat yang terhalang menjadi ahli waris disebabkan karena tindak kejahatan yang dilakukan
(pembunuhan) tidak dapat dimasukkan sebagai ahli waris pengganti.
d. Penggantian baru dilakukan apabila pengganti memang tidak dapat menerima bagian harta
waris berdasarkan aturan yang ada.
e. Penggantian hanya dipakai pada saat diperlukan atau terhadap kasus- kasus tertentu dan
tidak merupakan general rule.
f. Penggantian tempat/kedudukan tidak dapat menghijab nuqsan (mengurangi) porsi ahli waris
lainnya.
g. Ahli waris pengganti hanya dapat diduduki oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki (Ibn al Ibn),
sedangkan cucu perempuan dari anak laki- laki (Bint al Ibn) tidak mungkin karena ia termasuk
Dhaw al Furudl.
Demikian juga cucu laki-laki atau cucu perempuan dari anak perempuan (ibn al Bint atau Bint al
Bint) tidak mungkin menggantikan kedudukan karena termasuk kelompok Dhaw al Arham.h.
Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan orang tuanya apabila pewaris tidak
meninggalkan anak laki-laki lain yang masih hidup. Bila ia masih ada maka ditempuh dengan
wasiat wajibah atau hibah wasiat. (A. Wasit Aulawi, 1994 : 93) Berdasarkan hasil temuan dan
pertimbangan di atas, dan melihat berbagai penafsiran ayat 33 Surah al-Nisa, tidak satupun ahli
tafsir termasuk tim ahli tafsir Departemen Agama yang menterjemahkan mawali sebagai ahli
waris pengganti, maka ada yang berpendapat bahwa ulama Indonesia dan pakar hukum dalam
menerima konsep ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah berdasarkan
kemaslahatan ahli waris semua dan bukan berdasarkan pendapat Prof. Dr. Hazairin, S.H. dalam
penafsiran ayat 33 Surah al-Nisa’, atau dengan istilah lain karena berorientasi pada al Maqasid al
Shariah (tujuan shariah).
4. Rumusan Pasal Ahli Waris Pengganti Dalam KHI.
Dalam KHI hanya ada satu pasal yang menjelaskan ahli waris pengganti yaitu Pasal 185 yang
terdiri dari 2 (dua) ayat. Lebih jelasnya penulis kutipkan bunyi pasal dan ayat sebagai berikut :
Pasal 185 ayat (1) : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang telah tersebut dalam
Pasa 173.
Pasal 185 ayat (2) : Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti. Melihat teks pasal yang sangat simpel dan juga penjelasan
umum serta penjelasan pasal demi pasal, maka dapat disimpulkan bahwaKompilasi Hukum
Islam baca KHI tidak menyajikan secara literal dan jelas tentang ahli waris pengganti. Bila
0 0
dicermati rumusan pasal dan ayat di atas, maka terdapat beberapa butir pengertian/ketentuan
hukum sebagai berikut :
1. Pernyataan “dapat digantikan” mengandung arti bisa digantikan dan bisa tidak digantikan
sesuai kasusnya. Ini berarti penggantian kedudukan sifatnya tentatif dan bukan imperatif. Hal ini
terserah hakim untuk memilih cara penggantian tempat atau tidak sesuai kemaslahatan ahli
waris secara umum. Jadi hakim memutus menurut hukum kasus, bukan menurut hukum yang
berlaku umum.
2. Pasal 185 dan pasal penjelasannya tidak menjelaskan pengertian anak.
Apakah anak itu lelaki atau bersifat umum mencakup laki-laki dan perempuan. Dalam bahasa
Arab anak sering disebut walad sebagaimana disebut dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an
seperti ayat 11, 12 dan 14 surah al-Nisa yang banyak diterjemahkan oleh mufasirin dengan anak
laki-laki dan anak perempuan. Kecuali ayat 176 surah al- Nisa yang diterjemahkan oleh A. Hasan
dengan anak laki-laki yang berbeda dengan penafsiran Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa
walad itu mencakup anak laki-laki dan anak perempuan.
3. penggantian tempat / kedudukan oleh ahli waris yang meninggal lebih dulu dari pewaris
dibatasi pada ahli waris menurut hubungan darah dan utamanya ahli waris menurut jalur
bunuwah yaitu anak keturunan dari orang yang seharusnya menjadi ahli waris langsung dari
pewaris, tapi kebetulan ia meninggal duluan dari pewaris; dan sesuai latar belakang lahirnya
solusi di atas, maka penggantian tempat dibatasi hanya pada derajat cucu dan tidak pada
turunan kebawah lagi (cicit), kecuali memang bila tidak ada generasi cucu yang lain.
4. Pernyataan : ahli waris yang meninggal lebih dulu dapat digantikan oleh anaknya,
mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu :
1) Penggantian hanya terjadi dalam garis lurus ke bawah, yakni cucu pewaris bukan ke atas atau
menyamping.
2) Penggantian dapat terjadi pada anak saudara, sesuai kasusnya siapa yang menjadi pewaris.
Contoh A + B saudara P (pewaris). A mendahului P tetapi ia mempunya 2 orang anak (C dan D).
Bila A hidup, ia adalah ahli waris P, dengan demikian ahli waris (A) dapat digantikan oleh
anaknya yaitu C dan D.
5. Pengertian ahli waris pengganti tidak dijelaskan dengan tegas, apakah ia ahli waris atau bukan
ahli waris yang kemudian didudukkan sebagai ahli waris. Dalam hal ini penulis mendukung
pendapat yang menjelaskan bahwa ahli waris pengganti itu adalah kelompok ahli waris, bukan
orang diluar ahli waris yang ditempatkan sebagai ahli waris. Seperti cucu yang mahjub
sebenarnya adalah kelompok ahli waris yang karena keadaan tertentu ia menjadi tertutup.
Karena alasan dan pertimbangan lain, cucu yang mahjub itu ditempatkan sebagai ahli waris
menggantikan orang tuanya yang meninggal lebih dulu dari pada si pewaris. Jadi ia adalah ahli
waris yang tertunda haknya selama masih ada yang lebih berhak, seperti dhawil furudl atau
ashobah. Berbeda dengan anak/orang tua angkat yang mewarisi dengan wasiat wajibah, ia
0 0
memang bukan ahli waris tetapi didudukkan seperti ahli waris yang mendapat bagian paling
besar 1/3 bagian.
Kesimulan & Saran
Melihat rumusan ahli waris pengganti begitu simple dan multi tafsir (10 macam) dan
memperhatikan rumusan penggantian tempat menurut waris Sunny diatas, maka perlu adanya
pembatasan ahli waris pengganti sebagai berikut :
1. Penerapan ahli waris pengganti sifatnya tentatif bukan imperatif.
2. Pengertian anak sifatnya umum, yaitu lelaki dan perempuan.
3. Dapat digantikan oleh anaknya, diartikan dibatasi pada ahli waris
menurut hubungan darah dan utamanya menurut jalur Bunuwah
(anak keturunan langsung ke bawah) dan dibatasi sampai derajat
cucu.
4. Ahli waris pengganti pada dasarnya adalah kelompok ahli waris yang
karena keadaan tertentu ia menjadi tertutup lalu ditempatkan sebagai ahli waris pengganti; dan
bukan orang atau kelompok lain yang ditempatkan sebagai ahli waris pengganti.
5. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.
6. Penggantian ahli waris terbatas pada penggantian hak bagian ahli
waris dan bukan menggantikan penuh kedudukan dan fungsinya;
sehingga ahli waris pengganti tidak mempunyai hal menghijab, baik
kirman (total) atau nuqshon (mengurangi).
7. Penggantian ahli waris hanya diperuntukkan untuk anak keturuanan
langsung ke jalur bawah, dan bukan menyamping (anak keturunan
dari saudara laki-laki/perempuan). Ini berbeda dengan rumusan
hukum waris hal : 164 b (2) Pedoman Pelaksanaan Tugas Buku II edisi
Revisi 2010 yang memasukkan anak keturunan saudara sebagai ahli
waris pengganti.
8. untuk menghindari kesulitan, sebaiknya penggantian tempat tersebut jaraknya tidak terlalu lama/jauh dari kematian pewaris.
9. dan sebagainya.
Demikian sepintas Implementasi pasal 178 ayat 2, pasal 181, 182 dan 185 KHI.Dengan
pendekatan pendalaman dan penafsiran analogis untuk rasa keadilan, metodepemecahan kasus
seperti di atas ternyata tetap up to date meskipun sudah berjalan 15abad yang lalu. Mengakhiri
uraian ini, kami mengucapkan syukur Alhamdulillah awalan waakhiran, karena atas rahmat dan
karunia-Nya dapat tersusun makalah ini walau masihjauh panggang dari api. Sudah semaksimal
mungkin kami menyusun ini, namun dengan keterbatasan yang ada, kami mohon maaf serta
saran dan kritik, semoga di masa depan akan lebih baik. Kepada Allah kami berharap semoga
tulisan ini bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Amin.