![]() |
| Anindita Indriani Nariswari, Mahasiswi Antropologi FISIP Universitas Airlangga. (Foto: Dok/Ist). |
Nalarrakyat, Opini - Bencana banjir yang berulang kali melanda wilayah Sumatera tidak hanya meninggalkan jejak kerusakan fisik berupa rumah hancur, lahan pertanian rusak, dan korban jiwa, tetapi juga menghadirkan luka sosial yang dalam bagi masyarakat. Setiap peristiwa banjir selalu diikuti oleh lonjakan emosi publik: kesedihan, empati, kemarahan, hingga kepedulian yang meluas. Di titik inilah muncul suatu fenomena yang dikenal sebagai dukacita kolektif—kesedihan yang tidak hanya dirasakan oleh korban langsung, tetapi juga oleh masyarakat luas sebagai sebuah komunitas kemanusiaan.
Dukacita kolektif bukan sekadar perasaan sedih massal, melainkan sebuah konstruk sosial yang menghubungkan individu dengan nasib sesamanya. Dalam konteks banjir di Sumatera, dukacita kolektif menjelma menjadi simbol solidaritas antarmanusia, yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk aksi nyata: penggalangan dana, relawan kemanusiaan, bantuan logistik, advokasi kebijakan, hingga doa bersama lintas komunitas. Artikel opini ini akan mengulas bagaimana konsep dukacita kolektif dalam fenomena banjir di Sumatera berkembang menjadi simbol solidaritas kemanusiaan, serta maknanya dalam kehidupan sosial dan kebangsaan Indonesia.
Dukacita Kolektif sebagai Fenomena Sosial
Secara sosiologis, dukacita kolektif merupakan respons emosional bersama terhadap peristiwa traumatik yang menimpa suatu kelompok atau komunitas. Emile Durkheim menjelaskan bahwa emosi kolektif muncul ketika individu-individu tergabung dalam kesadaran bersama (collective consciousness). Dalam bencana banjir Sumatera, penderitaan korban menjadi representasi penderitaan bersama, yang menembus batas wilayah, suku, agama, maupun status sosial.
Media massa dan media sosial memainkan peran penting dalam membangun dukacita kolektif. Tayangan rumah yang tenggelam, anak-anak yang mengungsi, lansia yang kehilangan tempat tinggal, serta kabar korban jiwa secara perlahan membentuk kesadaran emosional publik. Kesedihan yang semula bersifat personal berubah menjadi kesedihan sosial. Pada tahap ini, dukacita tidak lagi milik individu, melainkan menjadi milik bersama sebagai bangsa.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki ikatan emosional yang kuat berbasis nilai kemanusiaan. Dukacita kolektif menjadi jembatan psikologis antara korban dan masyarakat luas, yang menumbuhkan empati serta memicu dorongan untuk bertindak.
Banjir Sumatera sebagai Luka Bersama
Banjir yang melanda berbagai wilayah di Sumatera—baik di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, hingga Aceh—bukan hanya persoalan hidrometeorologi semata. Bencana ini juga mencerminkan problem struktural seperti deforestasi, alih fungsi lahan, lemahnya tata kelola lingkungan, serta ketimpangan pembangunan. Namun, di balik kompleksitas penyebab tersebut, yang paling terasa adalah penderitaan manusia.
Setiap banjir membawa kisah kehilangan: kehilangan rumah, kehilangan mata pencaharian, kehilangan sanak keluarga, bahkan kehilangan masa depan. Tragedi-tragedi inilah yang kemudian membangun narasi dukacita kolektif. Ketika satu wilayah terkena bencana, wilayah lain ikut berduka. Ketika satu keluarga kehilangan anggota keluarganya, masyarakat luas ikut merasakan duka yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa banjir Sumatera telah melampaui statusnya sebagai bencana lokal dan berubah menjadi peristiwa kemanusiaan nasional. Dukacita kolektif menjadikan bencana tersebut sebagai luka bersama yang harus ditanggung secara sosial, bukan hanya individu.
Dari Kesedihan Menuju Solidaritas
Dukacita kolektif tidak berhenti sebagai emosi pasif. Ia berkembang menjadi energi sosial yang mendorong tindakan. Inilah titik penting di mana dukacita bertransformasi menjadi solidaritas kemanusiaan. Kesedihan bersama menumbuhkan kesadaran bahwa penderitaan orang lain adalah bagian dari penderitaan kita sebagai sesama manusia.
Solidaritas ini tampak dalam berbagai bentuk:
-
Gerakan Relawan
Ribuan relawan turun langsung ke lokasi banjir untuk membantu evakuasi, mendistribusikan bantuan, mendirikan dapur umum, dan memberikan layanan kesehatan. Banyak di antara mereka tidak memiliki hubungan langsung dengan korban, namun tergerak oleh suara hati dan empati. -
Penggalangan Dana dan Logistik
Masyarakat dari berbagai daerah mengirimkan bantuan berupa makanan, selimut, pakaian, obat-obatan, hingga dana tunai. Dukacita kolektif menggerakkan ekonomi solidaritas, di mana kepedulian mengalahkan kepentingan pribadi. -
Doa Bersama dan Aksi Spiritual
Di berbagai tempat, doa bersama lintas agama digelar untuk para korban. Ini menunjukkan bahwa solidaritas tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual. -
Tekanan Moral kepada Negara
Dukacita kolektif juga memunculkan tuntutan publik terhadap negara agar hadir secara maksimal dalam penanganan bencana, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Dalam konteks ini, dukacita kolektif tidak lagi dipahami sebagai kesedihan semata, tetapi sebagai daya dorong moral untuk bertindak.
Solidaritas sebagai Simbol Kemanusiaan
Solidaritas yang lahir dari dukacita kolektif memiliki makna simbolik yang sangat kuat. Ia menjadi simbol bahwa nilai-nilai kemanusiaan masih hidup di tengah masyarakat yang sering kali terfragmentasi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan identitas.
Ketika masyarakat bergotong royong membantu korban banjir di Sumatera, yang sesungguhnya sedang dibangun adalah narasi kemanusiaan universal: bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama, dan penderitaan satu orang adalah panggilan moral bagi orang lain untuk hadir.
Simbol solidaritas ini juga menjadi penanda bahwa bangsa Indonesia, meskipun terdiri dari berbagai latar belakang, masih diikat oleh nilai dasar Pancasila, khususnya sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dukacita kolektif menjadi medium aktualisasi nilai tersebut dalam kehidupan nyata.
Peran Media dalam Membangun Dukacita Kolektif
Media memiliki peran strategis dalam membentuk dan mengarahkan dukacita kolektif. Pemberitaan yang humanis, berimbang, dan empatik mampu membangun kesadaran sosial yang sehat. Namun, media juga memiliki potensi untuk jatuh pada eksploitasi penderitaan demi sensasi.
Ketika media menampilkan kisah-kisah korban secara etis, publik tidak hanya disuguhi tragedi, tetapi juga diajak untuk memahami kompleksitas persoalan dan pentingnya solidaritas. Sebaliknya, jika media hanya mengejar rating, dukacita kolektif bisa berubah menjadi kelelahan empati (empathy fatigue), di mana masyarakat justru menjadi acuh karena terlalu sering disuguhi penderitaan tanpa solusi.
Oleh karena itu, media seharusnya tidak hanya menjadi penyampai duka, tetapi juga penggerak solidaritas yang konstruktif.
Dukacita Kolektif sebagai Kritik Sosial
Menariknya, dukacita kolektif juga mengandung dimensi kritik sosial. Kesedihan massal atas banjir Sumatera tidak hanya ditujukan pada nasib tragis korban, tetapi juga pada sistem yang dianggap gagal melindungi masyarakat dari bencana berulang.
Di media sosial, dukacita sering kali disertai kemarahan terhadap:
-
Kebijakan lingkungan yang lemah,
-
Pembiaran terhadap perusakan hutan,
-
Tata kelola sungai yang buruk,
-
Minimnya mitigasi bencana.
Dengan demikian, dukacita kolektif tidak bersifat apolitis. Ia justru menjadi bentuk kesadaran kritis masyarakat yang menuntut perubahan struktural agar penderitaan tidak terus berulang.
Dimensi Psikologis dan Moral
Dari sisi psikologi sosial, dukacita kolektif memiliki fungsi penting dalam proses penyembuhan trauma, baik bagi korban maupun masyarakat luas. Bagi korban, dukungan sosial yang lahir dari solidaritas membantu mengurangi rasa keterasingan dan keputusasaan. Mereka merasa tidak sendirian menghadapi musibah.
Bagi masyarakat luas, dukacita kolektif berfungsi sebagai sarana refleksi moral. Masyarakat diajak untuk merenungkan kembali makna hidup, kepedulian, dan tanggung jawab sosial. Dalam kesedihan bersama, manusia diingatkan bahwa pada akhirnya yang paling esensial bukanlah harta, melainkan kemanusiaan.
Risiko Romantisasi Bencana
Namun demikian, dukacita kolektif juga memiliki sisi problematis jika tidak dikelola dengan bijak. Ada risiko romantisasi bencana, di mana penderitaan korban justru dijadikan komoditas emosional. Solidaritas yang muncul terkadang hanya bersifat sesaat, mengikuti siklus viralitas media.
Setelah berita mereda, perhatian publik pun menghilang, sementara korban masih bergulat dengan dampak jangka panjang: kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan anak, dan kesehatan mental. Di sinilah pentingnya mengubah solidaritas emosional menjadi solidaritas berkelanjutan.
Menuju Solidaritas yang Transformatif
Agar dukacita kolektif benar-benar menjadi simbol solidaritas kemanusiaan yang bermakna, ia harus diarahkan pada perubahan yang bersifat transformatif, antara lain:
-
Penguatan Mitigasi Bencana
Solidaritas tidak cukup hanya hadir saat bencana terjadi, tetapi juga harus diwujudkan dalam dukungan terhadap sistem peringatan dini, pendidikan kebencanaan, dan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan. -
Advokasi Kebijakan Publik
Dukacita kolektif perlu diterjemahkan menjadi tekanan moral agar pemerintah serius dalam menata ulang kebijakan tata ruang, kehutanan, dan pengelolaan sungai. -
Pemberdayaan Korban
Solidaritas sejati bukan hanya memberi bantuan, tetapi juga memberdayakan korban agar mampu bangkit secara mandiri. -
Pembangunan Kesadaran Lingkungan
Banjir bukan sekadar fenomena alam, tetapi juga akibat perilaku manusia. Dukacita kolektif harus melahirkan kesadaran ekologis yang lebih kuat.
Fenomena banjir di Sumatera telah melahirkan lebih dari sekadar tragedi alam. Ia melahirkan dukacita kolektif yang menjadi fondasi bagi tumbuhnya solidaritas kemanusiaan. Kesedihan bersama ini tidak hanya mengikat individu dalam empati, tetapi juga menggerakkan aksi sosial, memperkuat ikatan kebangsaan, serta membangkitkan kesadaran kritis terhadap problem struktural.
Dalam dukacita kolektif, kita menemukan wajah asli kemanusiaan: bahwa di tengah penderitaan, manusia masih mampu saling menguatkan; di tengah kehilangan, manusia masih mampu berbagi; dan di tengah bencana, manusia masih mampu menegaskan bahwa nilai kemanusiaan tidak pernah benar-benar hilang.
Namun, tantangan terbesar kita adalah memastikan bahwa solidaritas tersebut tidak berhenti sebagai reaksi emosional sesaat, melainkan berkembang menjadi gerakan berkelanjutan yang mampu mengubah sistem, memperbaiki tata kelola lingkungan, dan menjamin keselamatan generasi mendatang. Dengan demikian, dukacita kolektif akibat banjir di Sumatera benar-benar menjadi simbol nyata dari solidaritas sesama manusia, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
*) Penulis adalah Anindita Indriani Nariswari, Mahasiswi Antropologi FISIP Universitas Airlangga.

0Komentar