Prioritas Kendaraan Logistik Mudah Basi (Perishable): Telaah Kritis UU LLAJ
Supir truk pengangkut ikan segar berhadapan dengan dilema fundamental dalam pengaturan hukum Indonesia. Para supir membawa ribuan kilogram ikan bernilai ekonomi tinggi yang membusuk perlahan dalam kemacetan, sementara hukum lalu lintas tidak memberikan mekanisme perlindungan khusus bagi misinya. Kenyataan yang terbentang di depan kita bahwa ambulans didahulukan karena membawa pasien kritis, pemadam kebakaran didahulukan menyelamatkan nyawa dari api, namun truk pengangkut bahan pangan strategis yang menyangkut pangan sebagai bagian kehidupan banyak orang—diperlakukan sama dengan kendaraan pengangkut material biasa.
Kondisi tersebut menunjukkan kekosongan hukum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Hukum positif Indonesia mengakui urgensi beberapa kepentingan, tetapi buta terhadap kepentingan pangan nasional yang membentuk fondasi kesejahteraan publik.
Pandangan hukum Indonesia tentang prioritas kendaraan masih dibangun atas prinsip "penyelamatan nyawa langsung" (immediate life-saving). Lebih spesifik bila memperhatikan Pasal 134 UU LLAJ, pasal tersebut hanya menetapkan 7 (tujuh) kategori kendaraan prioritas: pemadam kebakaran dalam tugas darurat, ambulans dengan pasien sakit, kendaraan pertolongan kecelakaan, kendaraan pimpinan lembaga negara, kendaraan pejabat negara asing, iring-iringan jenazah, dan konvoi khusus atas pertimbangan Kepolisian.
Ketujuh kategori tersebut didasarkan pada logika tunggal: misi penyelamatan dalam waktu ekstrem atau kepentingan protokoler negara. Kendaraan logistik yang mengangkut bahan pangan mudah rusak (perishable goods)—seperti ikan segar, seafood, daging unggas, dan produk perikanan tidak masuk dalam kategori manapun. Berdasar pada kenyataan itulah, bahwa terjadi kekosongan hukum yang signifikan dalam UU LLAJ menyangkut kendaraan pembawa produk “perishable goods”.
Kekosongan sesungguhnya cerminan dari kesalahan paradigma mendasar. Legislator sebagai pembuat hukum hanya mengenali "darurat" sebagai fenomena akut yang terjadi dalam hitungan menit, bukan sebagai krisis sistemik yang terjadi perlahan melalui mekanisme logistik yang rusak. Kematian pasien dalam ambulans dipahami sebagai darurat nyata; kelaparan dan malnutrisi yang tercipta dari distribusi pangan yang tidak efisien dipahami sebagai persoalan ekonomi biasa. Padahal ketahanan pangan (food security) juga merupakan komponen konstitusional. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan secara tegas mewajibkan negara menjamin ketersediaan dan distribusi pangan merata kepada seluruh wilayah. Tetapi UU LLAJ yang mengatur alokasi ruang jalan—infrastruktur paling kritis untuk distribusi pangan, justru sama sekali tidak menangkap mandat konstitusional tersebut.
Fragmentasi Hukum
Fragmentasi pengaturan terjadi di antara Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Lalu Lintas. Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional bertanggung jawab atas ketahanan pangan, sementara Kementerian Perhubungan dan Kepolisian menguasai regulasi lalu lintas. Keduanya masih tidak menemukan titik taut hukum yang memadukan tanggung jawab kedua sektor.
UU Pangan memerintahkan negara untuk menjamin distribusi, tetapi tidak memiliki instrumen hukum untuk memprioritaskan alokasi ruang jalan bagi truk pengangkut pangan strategis. UU LLAJ mengatur alokasi ruang jalan, tetapi tidak merasa terikat pada mandat ketahanan pangan. Hasilnya adalah "zona abu-abu", yaitu tidak ada pihak yang merasa bertanggung jawab penuh.
Fenomena ini bukan murni ketiadaan peraturan, melainkan ketiadaan koordinasi sektoral yang sistematis dalam desain hukum. Masing-masing kementerian bekerja dalam silo (silos) kepentingannya sendiri tanpa mekanisme hukum yang mengintegrasikan keputusan mereka.
Meneropong Praktik Global: Fresh Food Corridors dan Priority Protocols
Uni Eropa melalui Trans-European Transport Network (TEN-T) Regulation telah mengembangkan Fresh Food Corridors, jalur transportasi khusus yang memprioritaskan distribusi produk perishable. Program tersebut didukung investasi publik yang signifikan karena disadari sebagai layanan publik esensial, bukan sekadar permintaan pasar.
Organisasi internasional IATA (International Air Transport Association) dalam Perishable Cargo Regulations telah menetapkan standar global yang memberikan prioritas basis selama krisis kepada kendaraan pengangkut perishable goods, menempatkannya setara dengan kargo obat-obatan dan peralatan medis. Logika dibalik protokol tersebut sederhana: sekali barang perishable rusak, tidak ada remediasi yang mungkin dilakukan.
China membangun National Cold Chain Logistics Corridors dengan investasi publik besar, mengintegrasikan kewajiban ketahanan pangan dengan infrastruktur transportasi. Amerika Serikat mengembangkan eHighway Project untuk memberikan jalur khusus kendaraan komersial logistik dengan teknologi canggih.
Kesenjangan semacam ini menunjukkan bahwa paradigma "logistik pangan adalah tanggung jawab publik" sudah menjadi norma praktik global. Indonesia tetap tertinggal dalam standar minimum yang diakui secara internasional.
Mengapa Indonesia Gagal: Analisis Struktural
Kegagalan Indonesia untuk melindungi logistik perishable melalui instrumen hukum lalu lintas berakar pada empat dimensi:
Pertama, kesalahan paradigma fundamental. Hukum positif Indonesia hanya mengenali darurat sebagai kondisi akut yang memerlukan respons menit-demi-menit. Krisis distribusi pangan—yang juga mengancam nyawa, hanya dalam pola yang berkelanjutan dan tidak dimasukkan dalam kategori kedaruratan tersebut. Akibatnya, tidak ada alasan hukum untuk memberikan prioritas.
Kedua, ketiadaan political will dengan alokasi anggaran konkret. Pada 2019, Kementerian Perhubungan mengkaji rencana jalur khusus logistik, namun tidak pernah terealisasi. Pemerintah memprioritaskan proyek-proyek infrastruktur prestisius dibanding sistem distribusi pangan yang kompleks namun kurang bergengsi dalam narasi publik.
Ketiga, fragmentasi hukum tanpa mekanisme integrasi. UU Pangan dan UU LLAJ berjalan sejajar tanpa saling mengikat. Tidak ada klausul dalam UU LLAJ yang mewajibkan pengalokasian prioritas untuk kepentingan ketahanan pangan yang diamanatkan UU Pangan.
Keempat, mentalitas profit-first versus public service. Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya mengadopsi paradigma yang melihat logistik pangan sebagai public goods yang memerlukan investasi publik. Mobilitas frozen fresh fish (ikan beku segar), unggas, dan/atau produk mudah basi lainnya masih dianggap sebagai tanggung jawab penuh sektor swasta, maka pemerintah tidak merasa berkewajiban memfasilitasi infrastruktur khusus.
Revisi Pasal 134 UU LLAJ
Menyikapi kekosongan hukum tersebut, maka diperlukan reformasi hukum yang tegas. Pasal 134 UU LLAJ harus direvisi untuk menambahkan kategori ke-8 (delapan):
“Kendaraan pengangkut bahan pangan strategis yang mudah rusak (perishable goods) untuk kepentingan ketahanan pangan nasional, meliputi produk perikanan dan seafood segar/beku, produk daging dan unggas segar/beku, produk hortikultura segar, serta produk susu dan olahannya, dengan syarat:
(a) dilengkapi sistem monitoring suhu dan GPS real-time;
(b) memiliki Sertifikat Pengangkutan Pangan Strategis dari Badan Pangan Nasional;
(c) menggunakan isyarat visual khusus (lampu kuning berkedip) saat melewati zona kemacetan.”
Pembaharuan hukum tersebut setidaknya memberikan tiga manfaat struktural, yaitu: Pertama, menciptakan landasan hukum yang jelas bagi prioritas lalu lintas untuk kendaraan logistik pangan. Kedua, mengintegrasikan mandat UU Pangan ke dalam rezim lalu lintas. Ketiga, membuka akses hukum bagi supir truk untuk menuntut perlindungan hukum jika hak prioritas mereka dilanggar.
Syarat-syarat ketat (monitoring suhu, sertifikasi, isyarat visual) juga dipandang perlu guna mencegah penyalahgunaan dan memastikan bahwa hanya kendaraan yang benar-benar membawa pangan strategis yang mendapat prioritas.
Dampak yang Diharapkan
Revisi Pasal 134 UU LLAJ membawa implikasi normatif berlapis. Bahwa pada level konseptual, pasal tersebut sanggup mengesahkan perubahan paradigma: ketahanan pangan diakui sebagai kepentingan setara dengan penyelamatan nyawa dalam kondisi akut. Sedangkan pada level operasional, pasal tersebut memberikan dasar hukum kepada Kepolisian RI untuk mengatur lalu lintas dengan memprioritaskan kendaraan perishable tertentu.
Pada level praktis, revisi pasal tersebut membuka jalan untuk regulasi derivatif: Peraturan Pemerintah tentang tata cara penetapan sertifikat pangan strategis, Peraturan Kapolri tentang mekanisme prioritas lalu lintas, Peraturan Menteri Perhubungan tentang standar kendaraan logistik pangan.
Efek jangka panjang diharapkan termasuk penurunan food loss dalam distribusi, penurunan biaya logistik perishable, peningkatan ketersediaan pangan lokal di pasar, dan peningkatan daya saing produk perikanan Indonesia di pasar global.
Kekosongan hukum dalam Pasal 134 UU LLAJ bukan sekadar ketiadaan teknis peraturan, melainkan merupakan absennya pengakuan hukum terhadap dimensi vital ketahanan pangan nasional. Supir truk pengangkut ikan segar tidak mempunyai landasan hukum untuk menuntut prioritas, meskipun misinya sama pentingnya dengan ambulans: menyelamatkan nyawa melalui distribusi bahan hidup. Reformasi Pasal 134 UU LLAJ bukan biaya tambahan kepada sistem hukum, melainkan perbaikan fundamental dalam menyelaraskan regime lalu lintas dengan mandat ketahanan pangan. Negara-negara maju sudah mempraktikkan prioritas semacam ini. Indonesia tidak perlu menemukan mekanisme dari nol—tinggal mengadopsi praktik global dan menyesuaikannya dengan konteks lokal.

