GUd9GUWiGpG9GUW9TUA9TfdlTA==
Light Dark
Negara Demokrasi yang Membungkam Rakyatnya

Negara Demokrasi yang Membungkam Rakyatnya

Daftar Isi
×

Nijar Nazwar Mulyana

Nalar Rakyat, Opini
- Negara ini kerap mengulang mantra “demokrasi” dalam setiap pidato resmi. Namun, di jalanan dan ruang-ruang publik, kata itu justru kehilangan maknanya. Ketika rakyat menyuarakan aspirasi, yang datang bukan dialog, melainkan intimidasi.

Aparat dikerahkan, suara dibungkam, dan kritik diposisikan sebagai ancaman. Demokrasi akhirnya hanya hidup di atas kertas, mati di hadapan warganya sendiri.

Sejak awal tahun, carut-marut kebijakan menunjukkan wajah negara yang semakin jauh dari prinsip kedaulatan rakyat. Instruksi presiden yang lahir tanpa partisipasi publik, pembahasan Undang-Undang TNI yang kembali membuka ruang militerisme dalam kehidupan sipil, hingga ingatan kolektif tentang “September Kelam” yang tak pernah benar-benar diselesaikan. Semua itu membentuk satu pola, negara lebih sibuk mengamankan kekuasaan ketimbang menuntaskan keadilan.

Di sisi lain, kerakusan negara juga tampak jelas dalam relasinya dengan alam. Deforestasi terus dibiarkan, ruang hidup dirampas atas nama investasi, dan kerusakan ekologis menjalar dari hulu ke hilir. Negara hadir bukan sebagai pelindung, melainkan fasilitator perampasan.

Alam dieksploitasi, masyarakat adat disingkirkan, dan generasi mendatang diwarisi bencana. Ini bukan sekadar kegagalan kebijakan, melainkan pengkhianatan terhadap mandat konstitusional untuk melindungi segenap kehidupan bangsa.

Ironisnya, semua itu terjadi di bawah klaim stabilitas dan pembangunan. Stabilitas versi siapa? Pembangunan untuk siapa? Ketika suara rakyat dianggap gangguan, ketika kritik dipukul mundur dengan kekuatan, dan ketika alam dikorbankan demi kepentingan segelintir elite, maka negara sedang memperlihatkan watak aslinya, maruk terhadap kekuasaan, abai terhadap kemanusiaan.

Menutup akhir tahun ini, kita dipaksa bercermin pada kenyataan pahit, negara yang mengaku demokratis justru sedang membunuh rakyatnya secara perlahan melalui kebijakan yang menindas, pembungkaman aspirasi, dan pembiaran kerusakan sosial-ekologis.

Refleksi ini bukan sekadar keluhan, melainkan peringatan. Demokrasi tidak akan runtuh dalam satu malam, tetapi hancur sedikit demi sedikit saat ketidakadilan dinormalisasi dan perlawanan dianggap kriminal. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka yang tersisa hanyalah negara tanpa rakyat, dan demokrasi tanpa jiwa.

Penulis : Nijar Nazwar Mulyana

Editor : Alana Zahira Malika