GUd9GUWiGpG9GUW9TUA9TfdlTA==
Light Dark
Menanti 'Antrean Tanpa Menunggu': Realita Layanan Faskes Tingkat Pertama Tahun Ini

Menanti 'Antrean Tanpa Menunggu': Realita Layanan Faskes Tingkat Pertama Tahun Ini

Daftar Isi
×
Suryadi (Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Maju / UIMA). (Foto: Dok/Ist).

Nalarrakyat, Opini - Aroma minyak kayu putih, suara batuk yang bersahutan, dan deretan kursi tunggu yang tak pernah sepi. Itulah pemandangan klasik yang masih menghiasi pagi hari di banyak Puskesmas dan Klinik Pratama kita.

Di era di mana kita bisa memesan makanan, transportasi, bahkan jodoh hanya dengan satu sentuhan jari, sektor kesehatan—khususnya di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)—sedang berusaha keras mengejar ketertinggalan. Tahun ini, jargon "Transformasi Digital" dan janji "Antrean Online" didengungkan lebih kencang dari sebelumnya. Aplikasi Mobile JKN digadang-gadang sebagai juru selamat untuk mengurai benang kusut antrean BPJS.

Namun, benarkah kita sudah sampai pada era "Antrean Tanpa Menunggu"? Atau itu hanya utopia digital di atas infrastruktur manual?

Janji Manis di Layar Ponsel

Secara konsep, digitalisasi layanan FKTP adalah ide brilian. Pasien mendaftar dari rumah, mendapat estimasi waktu, datang mendekati jam periksa, dan pulang dengan obat di tangan. Efisien. Manusiawi.

Di atas kertas, sistem ini menjanjikan kepastian waktu—sebuah kemewahan yang jarang dimiliki pasien BPJS selama bertahun-tahun. Kita membayangkan sebuah ekosistem di mana ruang tunggu tidak lagi menjadi "ruang penularan penyakit" karena penumpukan manusia yang berlebihan.

Realita "Hibrida" yang Membingungkan

Sayangnya, realita di lapangan sering kali menceritakan kisah berbeda. Tahun ini, kita masih menyaksikan fenomena "Digitalisasi Setengah Hati".

Banyak pasien yang sudah mendaftar online dan datang tepat waktu, justru dihadapkan pada kenyataan pahit: Administrasi Ulang. Sesampainya di faskes, mereka tetap harus melapor ke loket, menyerahkan berkas fisik, atau bahkan mengambil nomor antrean manual lagi karena sistem di komputer klinik tidak tersinkronisasi real-time dengan aplikasi pusat.

Akibatnya? Terjadi antrean ganda. Antrean online bertabrakan dengan antrean offline. Pasien yang merasa sudah "memesan tempat" lewat aplikasi sering kali harus berdebat dengan pasien lansia yang datang manual sejak subuh demi mendapatkan nomor kecil.

Di sinilah letak ironinya: Teknologi yang seharusnya memudahkan, malah menambah lapisan birokrasi baru karena ketidaksiapan sumber daya manusia dan infrastruktur di faskes itu sendiri.

Mereka yang Tertinggal di Era Digital

Kita juga tidak boleh menutup mata terhadap kesenjangan digital. "Antrean Tanpa Menunggu" seolah hanya milik mereka yang muda, melek teknologi, dan memiliki kuota internet.

Bagaimana dengan lansia yang datang sendirian? Bagaimana dengan warga di pinggiran yang sinyalnya timbul tenggelam?

Sering kali, sistem antrean online mengambil kuota antrean harian dokter. Ketika pasien manual datang, kuota sudah habis dipesan secara digital. Ini menciptakan rasa ketidakadilan sosial di ruang tunggu. FKTP bukan hanya tempat berobat, tapi juga ruang publik di mana setiap warga negara—digital maupun analog—berhak mendapatkan akses yang setara.

Bukan Sekadar Masalah Aplikasi

Masalah mendasarnya mungkin bukan pada aplikasinya, melainkan pada rasio dokter dan pasien yang belum ideal. Sebagus apa pun sistem antreannya, jika satu dokter harus melayani 50 hingga 80 pasien dalam waktu 4 jam praktik, "menunggu" adalah sebuah keniscayaan.

Aplikasi hanyalah alat bantu (tools), bukan solusi ajaib (magic wand). Jika proses bisnis di dalamnya belum diperbaiki—mulai dari kecepatan rekam medis elektronik hingga efisiensi farmasi—maka antrean online hanya memindahkan ruang tunggu dari kursi klinik ke ruang tamu rumah kita, tanpa benar-benar mempercepat layanan.

Harapan ke Depan

Kita mengapresiasi langkah besar BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan dalam mendigitalkan layanan. Perubahan memang menyakitkan dan butuh waktu. Namun, evaluasi harus terus dilakukan.

Tahun ini harus menjadi titik balik. Kita menanti integrasi sistem yang "tanpa tapi". Kita merindukan layanan di mana data pasien mengalir lancar dari ponsel ke meja dokter tanpa perlu fotokopi berkas. Kita berharap faskes diberikan insentif untuk memperbaiki infrastruktur IT mereka, bukan hanya dituntut memenuhi target angka kepuasan.

Sampai hari itu tiba, slogan "Antrean Tanpa Menunggu" masih menjadi mimpi indah yang kita amini, sembari tetap duduk manis menunggu nama kita dipanggil di ruang tunggu yang sesak.


*) Penulis adalah Suryadi, Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Maju (UIMA).