Praktik Ghosting Seller dalam Transaksi Daring sebagai Penipuan Modern

Ilustrasi - (Foto: Dok/Ist).

Nalarrakyat, Opini - Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara masyarakat Indonesia bertransaksi. Namun, kemudahan transaksi daring juga membuka celah bagi munculnya kejahatan digital, salah satunya praktik ghosting seller, modus penipuan di mana penjual menghilang setelah menerima pembayaran tanpa mengirimkan barang atau mengirimkan barang tidak sesuai.

Artikel ini menganalisis ghosting seller sebagai ancaman serius dalam transaksi digital, bentuk penyimpangannya terhadap nilai-nilai Pancasila, serta lemahnya implementasi hukum. Diperlukan upaya komprehensif melalui penguatan literasi digital, penanaman nilai Pancasila, dan penegakan hukum tegas agar ruang digital Indonesia menjadi ekosistem yang aman dan berkeadilan.

Praktik ghosting seller dalam transaksi online merupakan bentuk penipuan digital yang terjadi karena rendahnya literasi digital masyarakat, lemahnya pengawasan e-commerce, dan kurang tegasnya penegakan hukum. Dari sisi moral, praktik ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila karena merugikan orang lain, menghilangkan kejujuran, dan menciptakan ketidakadilan sosial. Oleh karena itu, ghosting seller bukan sekadar masalah penjual nakal, tetapi masalah etika dan keamanan digital yang perlu ditangani melalui peningkatan literasi digital, pengawasan platform, penegakan hukum yang lebih tegas, pendidikan karakter sejak dini, dan adanya keteladanan moral dari para pemimpin. Berikut pembahasan mengenai ghosting seller:

1. Ghosting Seller sebagai Penipuan Digital yang Semakin Meningkat

Kasus penipuan terutama dalam dunia digital semakin meningkat dan menjadi masalah serius. Dikutip dari detikFinance, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa telah tercatat 56.154 laporan penipuan transaksi belanja dengan kerugian mencapai Rp 1 triliun. Korban transaksi digital mayoritas adalah ibu-ibu yang kerap tergiur dengan harga murah.  

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebanyak 2.615 laporan mengenai penipuan online. Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kementerian Kominfo Teguh Arifiyadi, menyatakan bahwa sedikitnya laporan bukan karena minim kejadian, tetapi banyak yang tidak dilaporkan karena masyarakat mudah memaafkan, terutama jika kerugiannya kecil. Akibatnya, pelaku penipuan tidak memiliki efek jera dan tetap melakukan tindakan buruknya dengan bebas dan kasusnya tidak tercatat resmi.

Ghosting seller, meskipun polanya tampak sederhana yaitu meminta pembayaran dilakukan di awal, tidak melakukan pengiriman barang saat kegiatan transaksi sudah dilakukan, tidak melakukan pengiriman barang yang sesuai, dan menghilang tanpa kejelasan saat konsumen memberikan komplain dan menanyakan kejelasan produk. Praktik ini merusak kepercayaan masyarakat dalam bertransaksi dan menunjukkan bahwa masalah penipuan digital sudah bersifat sistemik dan merugikan banyak pihak.

2. Penyimpangan terhadap Nilai-Nilai Pancasila

Dalam praktiknya, ghosting seller merupakan tindakan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, diantaranya sebagai berikut:

  • Pelanggaran Sila ke-1: Ketuhanan Yang Maha Esa

Praktik ghosting seller menunjukkan bahwa tindakan tidak mencerminkan nilai Ketuhanan karena tidak bermoral. Menipu konsumen dengan informasi palsu seperti kualitas, garansi, dan harga.

  • Pelanggaran Sila ke-2: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Ghosting seller menunjukkan tindakan yang tidak menghargai hak orang lain. Ketika penjual menghilang setelah menerima uang dan tidak mengirimkan barang yang sesuai, korban kehilangan haknya atas barang yang dijanjikan. Ini jelas bertentangan dengan nilai kemanusiaan, seperti empati, kejujuran, dan rasa keadilan bagi konsumen.

  • Pelanggaran Sila ke-3: Persatuan Indonesia

Persatuan juga dapat dibangun melalui kepercayaan di ruang digital. Maraknya penipuan online membuat masyarakat saling curiga dan bertindak defensif. Hal ini mengurangi rasa kebersamaan, karena ruang digital yang seharusnya menjadi tempat interaksi malah menjadi ruang yang penuh ketidakpercayaan.

  • Pelanggaran Sila ke-4: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Praktik ghosting seller menunjukkan penyimpangan terhadap sila ke-4 Pancasila karena tidak mau berdialog atau menyelesaikan masalah secara baik saat pembeli mengeluh, mengabaikan masukan, kritik, atau ulasan pelanggan, serta memanipulasi review, dan tidak menerima komplain meski seller yang salah.

  • Pelanggaran Sila ke-5: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Penipuan digital sering menyasar kelompok masyarakat yang memiliki literasi digital rendah, seperti ibu rumah tangga, pelajar, atau masyarakat kecil. Korban dirugikan, sementara pelaku mendapat keuntungan yang tidak adil. 

3. Lemahnya Implementasi Hukum dan Pengawasan

Dalam pasal 28 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam Transaksi Elektronik.” Kemudian dijelaskan pula pada pasal 45A ayat 1, bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Berdasarkan peraturan-peraturan yang sudah ada dapat disimpulkan bahwa peraturan bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk diterapkan. Dalam hal ini kominfo dan platform digital juga memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan pengguna. Namun, dalam praktiknya, penanganan hukum masih lemah. Banyak korban enggan melapor karena proses hukum yang lambat dan beberapa kasus hanya ditangani setelah viral di media sosial. Ini menunjukkan adanya jarak antara aturan hukum dan pelaksanaannya. Perkembangan teknologi yang cepat tidak diimbangi dengan respons hukum yang tanggap dan efektif, sehingga pelaku merasa aman untuk terus melakukan penipuan.

Pandangan Penulis

Menurut penulis, masalah ghosting seller muncul bukan karena nilai-nilai Pancasila yang tidak relevan, tetapi karena nilai-nilai tersebut tidak diterapkan dalam kehidupan digital. Teknologi yang semakin berkembang membuat masyarakat diharuskan untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada. Masyarakat harus tanggap terhadap perubahan, sehingga tidak terjadi kesenjangan pengetahuan teknologi. Dalam hal ini diperlukan pula kesadaran masyarakat untuk terus mengikuti perkembangan dan tidak hanyut dalam ketertinggalan, sehingga tidak mudah dibodohi oleh pelaku kejahatan di dunia digital maupun nyata. Pancasila juga tetap menjadi nilai penting sebagai pedoman moral dan etika. Diperlukan langkah-langkah konkret, yaitu:

  1. Literasi digital berbasis nilai Pancasila, terutama tentang keamanan dan etika bertransaksi.
  2. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten.
  3. Pengawasan berkala di platform digital ataupun secara nyata agar pelaku tidak lagi merasa kebal hukum.
  4. Pendidikan karakter sejak dini, bukan hanya teori tetapi pembiasaan dalam kehidupan nyata.
  5. Keteladanan moral dari pemimpin, tokoh publik, dan lembaga hukum.

Jika nilai-nilai Pancasila dan penegakan hukum tidak diterapkan dengan baik dan sesuai porsinya, maka kehidupan dalam bernegara akan semakin tidak aman dan penuh pelanggaran moral, sehingga kepercayaan masyarakat makin melemah.

Pada akhirnya, Ghosting Seller tidak bisa kita anggap sebagai penipuan kecil lagi. Fenomena yang sudah sering kita lihat di media sosial maupun dalam peristiwa nyata membuktikan bahwa lemahnya nilai moral, hukum, dan etika dalam kehidupan masyarakat modern, Ketika penjual dengan sengaja meminta pembayaran di muka lalu menghilang tanpa memberikan barang yang seharusnya dikirim sesuai janji, bukan hanya konsumen saja yang menerima kerugian secara materi, namun kepercayaan sosial yang menjadi fondasi interaksi di ruang digital juga ikut terkikis. 

Ghosting Seller juga merupakan pelanggaran nyata terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang dimana pancasila adalah pedoman hidup bagsa bagi seluruh masyarakat. Tindakan penipuan dari ghosting seller ini mengabaikan moralitas dan kejujuran (sila pertama), merampas hak orang lain tanpa empati (sila kedua), merusak rasa persatuan (sila ketiga), menolak dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan masalah (sila keempat), dan juga menciptakan rasa ketidakadilan sosial dengan menyasar kelompok masyarakat yang belum paham terhadap digital (sila kelima). Dengan kata lain penipuan atau ghosting seller bukan hanya melanggar hukum positif, tetapi juga merusak nilai-nilai dasar yang menjadi identitas bangsa.

Ironisnya meski sudah ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, penegakan hukum masih jauh dari kata efektif. Bisa dilihat banyak sekali kasus yang baru ditangani setelah viral di media sosial, hal ini membuat korban yang tidak memiliki akses atau keberanian untuk melapor sering kali dibiarkan tanpa perlindungan. Terlihat sekali bahwa adanya kesenjangan besar antara aturan tertulis dan penerapan di lapangan. Ketika hukum tegakkan dengan tegas, pelaku akan merasa aman dan mengulangi kejahatannya, sehingga penipuan digital akan terus berkembang tanpa hambatan.

Berdasarkan keseluruhan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa praktik ghosting seller bukan hanya sekadar aksi penipuan digital biasa, melainkan merupakan tindakan yang merusak norma-norma moral, hukum, dan nilai-nilai Pancasila dalam konteks kehidupan berbangsa. Fenomena ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi tidak selalu sejalan dengan perkembangan etika masyarakat. Saat nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan diabaikan di dunia digital, maka kejahatan dan ketidakpercayaan akan semakin meningkat. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antara masyarakat, pemerintah, dan platform digital untuk menciptakan ekosistem transaksi yang aman dan bermartabat. Dengan memperkuat literasi digital, penegakan hukum yang konsisten, serta penerapan nilai-nilai Pancasila secara nyata, ruang digital di Indonesia dapat menjadi tempat yang tidak hanya modern, tetapi juga beradab dan adil bagi seluruh masyarakat.



*) Penulis adalah Dira Maulida Pasha, Faren Oktavia Fitrianti, Nadin Nur Fadillah, Kaila Risna Amalia, dan Niwayan Agustina Amyllya Rizqy, merupakan Mahasiswa di Fakultas Hukum di Universitas Mulawarman.

Previous Post