Sinergi Kampus-Desa : Pelatihan Pengolahan Mangrove Menjadi Produk Pangan Berkualitas
Indramayu, 21 September 2025 – Inovasi pemanfaatan ekosistem mangrove kembali menorehkan langkah nyata dalam menciptakan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan di kawasan pesisir. Di Kantor Desa Cemara, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu, anggota Yayasan Lingkungan Hidup (YLH) Estuari berhasil menguasai teknik pengolahan tiga jenis mangrove menjadi produk pangan dan minuman siap edar, dalam pelatihan berskala tinggi yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Petroleum Balongan (ITPB) Program Studi S1 Teknik Lingkungan dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Al-Amin Indramayu, dengan dukungan penuh dari program Pengabdian Berbasis Masyarakat (Pengabdian Masyarakat Pemula) Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (KEMENDIKTISAINTEK) melalui BIMA.
Pelatihan yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB ini tidak hanya menjadi wadah transfer ilmu, namun juga menjadi momentum penting bagi sinergi antara akademisi, komunitas lokal, dan institusi pemerintah. Diselenggarakan secara kolaboratif, kegiatan ini dipimpin langsung oleh Mutiara Salsabiela, S.Pi, M.Si, dosen ITPB sekaligus ketua pelaksana, yang memastikan setiap sesi berjalan efektif dan berdampak bagi masyarakat. Kehadiran Rektor ITPB, Dr. Ir. H. Hanifah Handayani, MT, beserta Asep Andri Astriyandi, M.Pd., selaku Ketua Prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang mewakili Ketua STKIP Al-Amin menunjukkan komitmen tinggi perguruan tinggi dalam membawa pendidikan ke ranah nyata di lapangan.
Dalam
sambutannya, kedua pimpinan institusi menekankan bahwa perguruan tinggi tidak
hanya bertanggung jawab mencetak lulusan, tetapi juga menjadi kekuatan
penggerak pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, Ketua STKIP Al-Amin
mengapresiasi peran mahasiswa dari kedua kampus yang terlibat sebagai
pendamping pelatihan, menunjukkan semangat pengabdian masyarakat yang kini
menjadi bagian integral dari kurikulum.
Materi inti
disampaikan oleh Dr. Sodikin, S.Pd., M.Si, M.P.W.K., pakar ekosistem mangrove
dari Program Magister Studi Lingkungan, Universitas Terbuka. Ia menjelaskan
secara komprehensif bahwa hutan mangrove bukan sekadar pelindung pantai dari
abrasi dan pengurang emisi karbon, tetapi juga “lumbung kehidupan” yang
menyimpan keanekaragaman hayati tinggi yang belum tergali maksimal. “Kita
sering melihat mangrove sebagai pohon yang tumbuh di lumpur, tapi sebenarnya ia
adalah simpanan sumber daya yang bisa mengubah nasib ekonomi sebuah desa,”
tegas Dr. Sodikin. Ia menekankan perlunya pendekatan holistik: konservasi
jangan dipisahkan dari pemanfaatannya yang bijak.
Sesi paling
dinanti pun tiba: praktik langsung pengolahan produk. Dibimbing oleh Bapak
Abdul Latif, aktivis lingkungan yang telah puluhan tahun berjuang untuk
pelestarian ekosistem pesisir, peserta dengan penuh semangat mulai mengolah
tiga jenis tanaman mangrove menjadi produk bernilai ekonomi tinggi: Bruguiera
gymnorhiza diubah menjadi bolu mangrove, kue lembut
bernafaskan gurih dan sedikit asin, dengan tekstur yang menyerupai kue
tradisional namun unik karena bahan dasarnya dari serbuk daun dan akar mangrove.
Acrostichum aureum (paku air mangrove) diolah menjadi keripik
paku air, renyah namun tidak berminyak, setelah melalui proses perebusan
khusus dan penggorengan dengan minyak berkualitas tinggi serta kontrol suhu
yang ketat untuk menjaga nutrisi. Sonneratia caseolaris (pidada) ditekuni
dalam dua produk utama: dodol pidada dengan rasa manis alami
yang tidak menggunakan gula putih, dan sirup alami pidada yang
kaya antioksidan, cocok sebagai minuman kesehatan dan pengganti minuman manis
konvensional.
Seluruh proses
diarahkan pada prinsip green processing: daur ulang air, penggunaan
bahan alami, dan pengurangan sampah organik. Lebih daripada itu, seluruh bahan
olahan berasal dari bagian tanaman yang bisa diperbarui tanpa merusak struktur
hutan, seperti daun, buah, dan tunas yang jatuh alami. Dengan luas area hutan
mangrove di sekitar Desa Cemara mencapai 409 hektare, YLH Estuari diberi
kesempatan besar untuk menjadi pioneer pemanfaatan sumber daya lokal
berbasis ekosistem. Mereka
kini tidak hanya sebagai organisasi konservasi, tetapi juga potensi enterpreneur
desa yang bisa memproduksi produk unggulan khas pesisir.
Kegiatan ini
bukan sekadar pelatihan, melainkan transformasi sosial-ekologis yang
menunjukkan bahwa keberlanjutan bukanlah pilihan, tapi keharusan yang mampu
menciptakan lapangan kerja, menumbuhkan kebanggaan lokal, dan menyelamatkan
alam secara bersamaan. Dengan
bendera “Dari Alam, untuk Masyarakat, demi Masa Depan yang Lestari”, Indramayu
kini menunjukkan jalan baru bahwa konservasi dan kesejahteraan bisa berjalan
beriringan bahkan saling melengkapi.