Parent Camp Ruang Refleksi Orangtua Sebelum Anak Memulai Perjalanan Belajarnya di Sekolah
Nalar Rakyat, Salatiga, 6 Juli 2025 - Ketika mayoritas sekolah memulai tahun ajaran baru dengan Masa Orientasi Siswa yang penuh seremonial dan informasi teknis, TK Lebah Putih, SD School of Life Lebah Putih, dan SMP Arunika memilih langkah yang tak lazim: mengundang orangtua untuk menjalani Masa Orientasi Sekolah (MOS) khusus dewasa, bahkan sebelum anak-anak mereka resmi duduk di bangku kelas.
Program bertajuk Parent’s Camp “Kumpul Bocah” yang diadakan pada Sabtu–Minggu (5–6 Juli 2025) di Kampoeng Banyumili, Kabupaten Semarang, ini menjadi ruang unik di mana 43 orangtua siswa baru, terdiri dari ayah dan bunda berkumpul bukan untuk mendengar pidato panjang, melainkan untuk pulang ke memori masa kecil mereka sendiri.
Menurut data internal School of Life Lebah Putih, 80% orangtua yang baru bergabung menyatakan merasa cemas dan tidak siap beradaptasi dengan konsep sekolah berbasis komunitas keluarga. “Rata-rata orangtua datang dengan mindset lama, bahwa sekolah akan menggantikan peran mereka mendidik anak,” tutur Septi Peni Wulandani, Founder Sekolah Lebah Putih.
Padahal, riset Harvard Family Research Project (2017) menunjukkan bahwa anak yang tumbuh dalam ekosistem pendidikan kolaboratif antara sekolah dan keluarga memiliki peluang 86% lebih tinggi untuk berkembang optimal dalam aspek akademik dan sosial-emosional. Di Indonesia sendiri, hasil survei Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2022 mencatat bahwa 73% orangtua merasa tidak percaya diri terlibat dalam proses belajar anak karena pengalaman pengasuhan masa kecil yang tidak ideal.
Inilah alasan mengapa Parent’s Camp tak hanya menjadi sesi pengenalan sekolah, tetapi juga ruang refleksi dan pemulihan luka pengasuhan lintas generasi.
Momen Saat Ayah Bunda “Menjadi Anak Kecil Lagi”
Sejak hari pertama, atmosfer kegiatan dibuat cair. Para ayah dan bunda yang biasanya canggung duduk bersebelahan diajak bermain kelereng, dakon, lompat tali, engklek, hingga membuat dan menerbangkan layangan. Bagi sebagian orang, inilah pertama kalinya mereka membiarkan diri tertawa lepas tanpa beban sebagai orang dewasa.
“Awalnya malu, tapi ternyata ketika kita mulai main kelereng, rasanya kayak kembali ke kampung halaman,” ungkap Wahyu, salah satu ayah peserta.
Namun di balik canda tawa itu, tersembunyi maksud yang lebih dalam: memulihkan kedekatan dengan diri sendiri sebelum mampu hadir utuh untuk anak-anak mereka.
Parent’s Deep Talk: Sesi Reflektif yang Menyentuh Luka Lama
Selepas sesi permainan, suasana bergeser menjadi lebih hening dan kontemplatif. Melalui Parent’s Deep Talk, setiap peserta mendapat setumpuk kartu refleksi. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti “Apa pengalaman masa kecil yang paling membekas?” atau “Bagaimana Anda diperlakukan ketika gagal?” menjadi kunci membuka pintu ingatan lama.
Tak sedikit yang terdiam, menarik napas panjang, bahkan meneteskan air mata ketika menyadari banyak pola pengasuhan lama yang masih terbawa hingga kini — pola yang terkadang melukai, tanpa disadari siap diteruskan kepada anak-anak mereka.
“Kegiatan ini jadi semacam ruang terapi. Rasanya lega ketika bisa menceritakan pengalaman masa kecil yang selama ini saya simpan sendiri,” ujar seorang bunda yang berkisah tentang pengasuhan otoriter di masa kecilnya.
Menyatukan Visi, Menyatukan Hati
Setelah sesi refleksi personal, peserta diajak mendiskusikan visi pengasuhan sebagai pasangan. Pertanyaan-pertanyaan kritis dilemparkan: Apakah kita sudah satu suara dalam cara mendidik anak? Apakah kita sadar pola asuh apa yang ingin diteruskan atau dihentikan?
Menurut American Psychological Association, konflik pengasuhan yang tidak terkelola berkontribusi pada penurunan 42% tingkat kesejahteraan emosional anak. Karena itu, School of Life Lebah Putih menekankan pentingnya sesi penyatuan visi ini agar rumah dan sekolah menjadi ruang tumbuh yang konsisten.
Diskusi Malam Bersama Founder: Anak Kita, Tanggung Jawab Bersama
Malam harinya, suasana semakin akrab dalam sesi diskusi bersama Septi Peni Wulandani. Dikenal sebagai penggagas pendidikan berbasis keluarga, Septi memaparkan filosofi sekolah yang tidak hanya mendidik anak, tetapi mendampingi keluarga menjadi lebih sadar dan bertumbuh bersama.
“Kalau sudah masuk di Lebah Putih dan Arunika, siap-siap anak kita jadi banyak, dan orangtua anak kita juga jadi banyak. Karena anakku ya anakmu, dan anakmu ya anakku,” ungkap Septi, disambut senyum haru para peserta.
Pernyataan ini bukan hanya metafora, melainkan komitmen kolektif bahwa pendidikan adalah kerja kolaborasi, bukan kontrak satu arah antara orangtua dan sekolah.
Membangun Sekolah Sebagai Ruang Aman dan Bermakna
Orientasi Parent’s Camp ini menjadi bukti konkret bahwa pendidikan kontekstual dan relasional bukan hanya jargon. Di Sekolah Lebah Putih dan Arunika, keterlibatan orangtua bukan opsi tambahan, tetapi prasyarat utama keberhasilan anak.
Joyce Epstein dalam Six Types of Parental Involvement (2002) menegaskan bahwa kolaborasi sekolah dan keluarga adalah salah satu prediktor terkuat keberhasilan pendidikan anak, lebih kuat daripada variabel status sosial ekonomi.
Dengan melibatkan orangtua sejak hari pertama, School of Life Lebah Putih dan Arunika ingin memastikan anak-anak belajar bukan hanya dari materi pelajaran, tapi juga dari relasi yang sehat, kehadiran penuh orang dewasa, dan komunitas yang saling menguatkan.