![]() |
| Autokrasi Epistemik: Rekayasa Pembungkaman Opini Kritis |
JOGJA PEKAN - Bayangkan seorang profesor dilaporkan ke polisi karena mengutip data penelitiannya sendiri. Atau seorang peneliti diancam setelah mengungkap temuan yang bertentangan dengan narasi resmi. Pada September 2022, dunia akademik Indonesia diguncang sebuah peristiwa. Prof. Dr. H. R. Eko, Guru Besar Universitas Brawijaya, dilaporkan ke polisi oleh kelompok masyarakat karena dianggap "melecehkan institusi negara" dalam webinar tentang demokrasi. Kasus ini, yang ramai diliput media seperti Tirto.id dan Kompas.com, bukan insiden tunggal. Beberapa bulan sebelumnya, peneliti kebakaran hutan dari IPB, Dr. Bambang Hero Saharjo, menghadapi tekanan serupa setelah memaparkan data yang bertentangan dengan narasi resmi perusahaan.Insiden-insiden ini memperlihatkan pola sistemik: sebuah rezim yang tidak hanya mengontrol politik dan ekonomi, tetapi juga ambisius memonopoli produksi dan validasi pengetahuan itu sendiri. Fenomena ini dalam kajian kritis disebut autokrasi epistemik.Memahami Autokrasi Epistemik
Konsep autokrasi epistemik merujuk pada sistem di mana otoritas (negara, korporasi, atau aliansinya) menentukan secara sepihak apa yang dianggap sebagai "pengetahuan yang sah". Hal ini melampaui sensor biasa, dan merupakan upaya untuk mengontrol epistemologi publik yaitu cara suatu masyarakat mengetahui, memahami, dan membuktikan sesuatu. Seperti disampaikan pengamat kebebasan akademik Afrizal (2023) dalam artikel The Conversation Indonesia, terjadi pergeseran dari pembatasan kebebasan berekspresi menjadi ‘kriminalisasi produksi pengetahuan’ itu sendiri.Dalam praktiknya, autokrasi epistemik tidak hanya memblokir informasi yang tidak disukai, tetapi secara aktif membangun kerangka kebenaran versi penguasa. Ia menciptakan hierarki pengetahuan di mana data dan analisis yang berasal dari lembaga resmi dianggap lebih sahih, sedangkan temuan independen diragukan atau disingkirkan. Proses ini sering kali melibatkan pembentukan lembaga-lembaga ‘pakar’ yang dikendalikan negara atau korporasi, yang kemudian menghasilkan ‘pengetahuan’ yang mendukung kepentingan mereka. Kriteria kebenaran tidak lagi didasarkan pada metode ilmiah yang ketat, tetapi pada kesesuaiannya dengan agenda politik-ekonomi penguasa.Akibatnya, ruang publik tidak lagi menjadi arena pertukaran gagasan yang sehat, melainkan medan perang epistemik di mana versi kebenaran yang dominan dipaksakan. Masyarakat dibentuk untuk menerima begitu saja klaim-klaim resmi, sementara sikap kritis dicurigai sebagai pengganggu stabilitas. Pada konteks Indonesia, gejala ini tampak dalam berbagai kasus di mana penelitian ilmiah yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah atau kepentingan bisnis besar mendapatkan respons represif, bukan diskusi substantif. Pergeseran inilah yang kemudian menormalisasi kriminalisasi generasi wawasan, sebagaimana dianalisis Afrizal (2023), dan pada akhirnya menjadikan penguasaan atas narasi kebenaran sebagai alat kekuasaan yang ampuh.Anatomi Tiga Lapis Pembungkaman
Setelah memahami konsepnya, kita perlu membedah mekanisme operasional autokrasi epistemik. Pembungkaman dalam sistem ini bekerja melalui mekanisme berlapis bagaikan sistem pertahanan: dari tekanan struktural yang tak kasatmata, serangan operasional yang terukur, hingga manipulasi psikologis yang halus. Setiap lapisan tidak hanya saling memperkuat, tetapi juga secara sistematis mengikis kepercayaan publik terhadap metode dan institusi pengetahuan itu sendiri, menciptakan lingkungan yang membungkam bukan hanya suara, tetapi juga nalar kritis.Lapisan pertama adalah kontrol struktural. Riset Safrudin Amin et al. (2021) dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam "Kebebasan Akademik di Masa Pandemi: Tantangan dan Pelanggaran" mendokumentasikan bagaimana tekanan terhadap akademisi meningkat melalui berbagai cara, mulai dari pembatasan pendanaan riset "sensitif" hingga intervensi administratif kampus. Laporan ini mengungkap bahwa 32 dari 50 akademisi yang diwawancarai mengalami tekanan tidak langsung akibat penelitian atau pernyataan mereka.
Lapisan kedua adalah mekanisme operasional. Di sini, UU ITE menjadi senjata utama. Laporan SAFENet 2022 menunjukkan bahwa 64% kasus pelaporan dengan UU ITE ditujukan kepada jurnalis, aktivis, dan akademisi yang menyampaikan kritik atau informasi berbasis data. Kasus simbolik terjadi ketika peneliti LIPI Dr. Gusti A. K. Wardana dilaporkan ke Bareskrim Polri pada 2021 atas penelitian tentang kerusakan lingkungan, seperti dilaporkan BBC Indonesia.
Lapisan ketiga adalah teknik psiko-epistemik, yang paling halus namun efektif. Di sini, kekuasaan membentuk keraguan publik bukan dengan melarang, tetapi dengan membanjiri ruang publik dengan narasi tandingan yang pseudo-ilmiah. Nuradi (2022) dari Universitas Indonesia dalam artikel "Gaslighting Epistemik dan Krisis Kepercayaan Publik" di Jurnal Prisma (Vol. 41, No. 2) menjelaskan bagaimana teknik "penciptaan ketidakpastian" digunakan untuk mendelegitimasi temuan ilmiah yang solid.
Dampak yang Terukur dan Ekosistem Pendukung
Sistem ini didukung oleh ekosistem yang saling menguatkan. Penelitian Dyah Puspitasari (2023) dari Universitas Gadjah Mada yang dipublikasikan di Jurnal Politica (Vol. 14, No. 1) menganalisis jaringan brigade digital yang terkoordinasi untuk menyerang kredibilitas ilmuwan dan jurnalis kritis. Infrastruktur teknologi, terutama algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan engagement, secara tidak sengaja memperkuat efek ini dengan mempromosikan konten kontroversial dan membentuk echo chamber. Studi Merlyna Lim (2022) dari Carleton University dalam "Algorithmic Authoritarianism and Digital Democracy in Southeast Asia" menunjukkan bagaimana platform digital dapat menjadi alat amplifikasi otoritarian.
Dampaknya terukur secara empiris. Survei yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Akademik pada awal 2023 mengungkap fakta mencengangkan: 72% dosen mengaku melakukan pembatasan diri (self-censorship) dalam penelitian dan pengajaran. Yang lebih mengkhawatirkan adalah fenomena brain drain intelektual, dengan peningkatan 40% permohonan izin riset kolaborasi internasional untuk topik sensitif seperti lingkungan dan HAM.
Jalan Resistensi: Menuju Demokrasi Epistemik
Menyadari besarnya dampak yang ditimbulkan, muncul pertanyaan kritis: adakah jalan keluar? Jawabannya terletak pada pembangunan demokrasi epistemik sebagai tandingan, sistem di mana klaim kebenaran diuji melalui proses deliberatif yang terbuka, transparan, dan egaliter. Beberapa upaya strategis telah mulai tumbuh sebagai fondasi untuk ekosistem pengetahuan yang sehat dan responsif.
1. Infrastruktur pengetahuan alternatif melalui platform seperti Indonesia Mengglobal dan Narasi TV yang menyediakan ruang analisis kritis berbasis data, serta jurnal open-access seperti Jurnal Polinter. Dampaknya, ruang publik tidak lagi didominasi oleh satu narasi kebenaran tunggal. Masyarakat memperoleh akses terhadap perspektif yang diverifikasi namun berbeda, yang dapat memperkaya wacana dan memperkuat kemampuan kolektif untuk menilai suatu klaim secara mandiri.
2. Advokasi litigasi strategis oleh organisasi seperti LBH Pers dan YLBHI yang mendampingi kasus-kasus kriminalisasi akademisi dan jurnalis. Dampaknya adalah terciptanya deterrent effect atau efek jera bagi pihak-pihak yang ingin menggunakan instrumen hukum secara sewenang-wenang untuk membungkam. Setiap kemenangan hukum menjadi preseden berharga yang mempertebal tembok pertahanan bagi kebebasan akademik dan berekspresi.
3. Jaringan solidaritas transnasional seperti Scholars at Risk dan Academics for Academic Freedom yang memberikan perlindungan internasional. Dampaknya, tekanan dan pengawasan terhadap suatu kasus tidak hanya bersifat domestik, tetapi juga mendapatkan sorotan global. Hal ini meningkatkan biaya reputasi bagi aktor yang melakukan pembungkaman dan menyediakan jalur penyelamatan bagi para pemikir yang terancam.
4. Pendidikan literasi media kritis melalui inisiatif seperti Mafindo dan CekFakta.com. Dampaknya adalah terbangunnya community immunity (kekebalan komunitas) terhadap misinformasi dan narasi pseudo-ilmiah. Publik yang terlatih menjadi pihak yang aktif menyaring informasi, sehingga upaya gaslighting epistemik dan penciptaan keraguan yang sistematis menjadi kurang efektif.
Secara kolektif, strategi-strategi ini menggeser otoritas pengetahuan dari kontrol tersentralisasi menuju akuntabilitas yang terdistribusi. Dengan fondasi yang kuat, demokrasi epistemik dapat berfungsi sebagai sistem kekebalan masyarakat, menjadikan kebenaran sebagai hasil partisipasi aktif warga negara yang kritis, bukan monopoli segelintir elit.
Merebut Kembali Hak untuk Tahu
Pertarungan melawan autokrasi epistemik pada dasarnya adalah perjuangan untuk hak epistemik, yakni hak setiap warga untuk mengetahui, mempertanyakan, dan berpartisipasi dalam produksi pengetahuan. Masa depan demokrasi Indonesia tidak hanya diukur dari pemilihan umum yang bebas, tetapi juga dari kebebasan untuk mengetahui dan keberanian menyampaikan data.
Ketika peneliti ragu mempublikasikan data, ketika dosen menghindari topik sensitif, ketika jurnalis memilih angleaman, saat itulah autokrasi epistemik menang. Kemenangannya adalah kekalahan kolektif bangsa dalam memahami dan menyelesaikan masalahnya sendiri.
Pertarungan ini dapat dimulai dari langkah-langkah konkret yang terjangkau, dimulai dari lingkaran terdekat.
1. Kita perlu secara aktif mendukung platform pengetahuan alternatif yang independen. Dengan berlangganan, membagikan, atau berkontribusi pada media dan jurnal yang mengutamakan bukti ketimbang narasi, kita membantu membangun ekosistem informasi yang sehat dan berimbang.
2. Sikap menolak pembiaran terhadap kriminalisasi ilmuwan, akademisi, dan suara kritis lainnya harus menjadi konsensus sosial. Ini bisa diwujudkan dengan menyuarakan solidaritas saat terjadi kasus, mengikuti perkembangan advokasi hukumnya, dan menolak stigmatisasi yang mudah terhadap para pencari kebenaran.
3. Upaya transformatif dimulai dari lingkaran terdekat dengan meningkatkan literasi media kritis di lingkungan sendiri, dalam keluarga, pertemanan, maupun komunitas. Mengajak diskusi tentang pentingnya memeriksa sumber, memahami metodologi, dan bersikap skeptis terhadap klaim tanpa dasar, adalah investasi kecil dengan dampak besar untuk membentuk masyarakat yang lebih tangguh menghadapi manipulasi informasi.
Kita tidak membutuhkan lebih banyak kepatuhan, tetapi keberanian kognitif. Bukan penerimaan pasif, melainkan skeptisisme sehat. Bukan keseragaman narasi, melainkan kompetisi gagasan berbasis bukti. Hanya dengan cara tersebut, lentera pengetahuan akan terus menyala, menerangi jalan yang kita lalui bersama sebagai bangsa yang benar-benar berdaulat dalam berpikir dan bertindak.
Penulis: Harry Yulianto - Akademisi STIE YPUP Makassar
