Ketika Mikrohidro Mendorong Rumah Murah di Sulawesi Tenggara

Persiapan Rumah Turbin (Power House) Perumahan Griya Liwanda - Buton. (Foto: Dok/Ist).

Nalarrakyat, Opini - Indonesia tengah gencar mengejar target ambisius, yaitu pembangunan jutaan rumah layak huni untuk rakyat. Namun, di balik target itu, ada tantangan fundamental yang sering terabaikan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Data resmi mencatat angka kekurangan pasokan (backlog) perumahan di provinsi ini mencapai 18,36% (Kementerian PKP RI, 2025). Di saat yang sama, rasio elektrifikasi di banyak wilayah kepulauan, seperti Buton Tengah, masih jauh dari sempurna.

Menunggu ekspansi jaringan listrik terpusat dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) seringkali menjadi hambatan ganda. Prosesnya memakan waktu dan biaya, membuat harga rumah melambung di luar jangkauan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Kondisi ini memaksa kita untuk melihat keluar dari cara lama, dan bertanya : bukankah solusi terbaik sering kali ada di halaman belakang rumah kita sendiri ?

Sebuah terobosan datang dari sebuah perumahan di Buton Tengah. Di tengah lanskap yang dialiri sungai-sungai kecil dan mata air, sebuah kawasan perumahan subsidi, Griya Liwanda, mematahkan stigma itu. Alih-alih menunggu sambungan PLN, pengembang sedang membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) 15 kW untuk melayani 40 unit rumah. Model ini, yang memanfaatkan aliran air gravitasi, menunjukkan bahwa hunian dan energi tidak harus menjadi dua masalah terpisah yang saling menunggu, tetapi dapat diselesaikan secara simultan.

Pendekatan ini merupakan sebuah model ekonomi yang non konvensional. Investasi awal untuk PLTMH sebesar sekitar Rp 247 juta terintegrasi ke dalam harga jual properti, membuatnya tetap terjangkau bagi MBR. Yang lebih penting, keuntungan jangka panjangnya jauh lebih signifikan bagi penghuni. Jika rata-rata rumah tangga di Buton Tengah menghabiskan sekitar Rp 144.000 per bulan untuk listrik konvensional, dengan sistem mikrohidro, mereka hanya perlu membayar iuran sekitar Rp 75.000 per bulan. Ini berarti setiap keluarga menghemat hampir Rp 800.000 per tahun. 

Penghematan ini adalah katalisator bagi pertumbuhan ekonomi mikro. Uang yang tadinya habis untuk biaya listrik kini dapat dialokasikan untuk pendidikan anak, membeli kebutuhan pokok, atau bahkan menjadi modal awal untuk memulai usaha kecil. Dengan pasokan listrik yang stabil dan murah, warung makan, bengkel, dan industri rumahan lainnya yang dulu terhambat oleh krisis energi, kini dapat berkembang pesat. Pembangkit ini juga dapat menciptakan lapangan kerja lokal bagi 1-2 orang yang dilatih untuk mengoperasikan dan memelihara sistem.

Dampak positifnya juga meluas hingga ke lingkungan. Untuk 40 rumah, mengganti listrik dari jaringan PLN yang masih bergantung pada bahan bakar fosil berarti menghindari emisi karbon sekitar 100 ton per tahun. Angka ini setara dengan menghentikan puluhan truk diesel beroperasi sepanjang tahun. Inisiatif kecil ini secara langsung mendukung komitmen nasional untuk transisi energi bersih dan pembangunan berkelanjutan.

Apa yang terjadi di Buton Tengah harus menjadi cetak biru pembangunan nasional, sebuah bukti bahwa kita dapat mengatasi dua tantangan besar, yaitu perumahan dan energi, melalui inovasi yang berakar pada sumber daya lokal. Untuk mereplikasi model ini, sinergi kebijakan sangat krusial. Pemerintah daerah harus proaktif mengintegrasikan pemetaan potensi energi terbarukan ke dalam rencana tata ruang, serta memberikan insentif fiskal dan kemudahan perizinan bagi pengembang yang mengusung konsep hunian hijau. Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki peran sentral dengan merumuskan skema pembiayaan properti hijau. Terakhir, asosiasi pengembang harus mulai menjadikan penyediaan energi mandiri sebagai nilai jual utama, bekerja sama dengan politeknik maupun SMK setempat untuk melatih tenaga kerja terampil.

Sudah saatnya kita menyadari bahwa solusi untuk krisis perumahan dan energi tidak selalu datang dari proyek-proyek raksasa. Terkadang, jawabannya ada dalam pemanfaatan potensi kecil yang melimpah, seperti aliran sungai yang tak terjamah di Sulawesi Tenggara. Model perumahan mikrohidro di Buton Tengah adalah bukti nyata membangun kemandirian energi dan masa depan yang lebih berkelanjutan.


*) Penulis adalah Alam Nashrul S, wiraswasta asal Sulawesi Tenggara dengan pengalaman lebih dari satu dekade di sektor perbankan, konstruksi, dan real estate. Lulusan Magister Ekonomika Pembangunan Universitas Gadjah Mada ini sebelumnya berkarier di Bank Negara Indonesia (BNI) sebelum kemudian mendirikan sejumlah perusahaan di bidang konstruksi dan properti. Selain berbisnis, ia pernah aktif dalam organisasi kewirausahaan dan sosial, antara lain sebagai Sekretaris Umum HIPMI Sulawesi Tenggara serta Wakil Ketua Umum KONI Sultra. Ia juga tercatat sebagai finalis kompetisi BTN Housingpreneur 2025 kategori Landed Residential - Best Eco House. Fokus utamanya kini adalah mengembangkan hunian terjangkau dan berkelanjutan berbasis energi terbarukan di Sulawesi Tenggara. (Kontak : alam.nashrul@mail.ugm.ac.id / 0811 - 401 - 850).

*) Opini ini diikutsertakan dalam Kompetisi Forum Ekonomi Sulawesi Tenggara 2025

Next Post Previous Post